Tembok Bahasa

891 75 9
                                    


Setelah Papa dan Mama pulang ke Indonesia, dan Ci Felice masuk ke sebuah kos yang letaknya dekat dengan akademi perhotelannya, Denise ditinggal sendiri di asrama Guang Ming. Sendiri! Walaupun ia berbagi kamar dengan 3 orang anak perempuan lainnya. 

Mei Ping dan Cia-cia yang menempati kasur bagian bawah adalah gadis Cina Malaysia. Mereka tinggal di asrama karena rumah orang tuanya ada di pulau lain. Mereka bukan murid program khusus yang mendidik bahasa Mandarin, tetapi murid program sekolah biasa. Seorang lagi, Helen, adalah orang Indonesia, sama seperti dirinya, murid kelas program persiapan, pengungsi dari Medan. Denise sempat berharap bisa berteman baik dengan Helen, tapi ternyata Helen datang ke sekolah ini dengan sepupunya yang juga tinggal di asrama. Terlebih lagi, Helen bisa berbahasa Hokkian, dialek Cina yang paling umum digunakan oleh orang Cina Malaysia, dan para siswa di seantero asrama. Dialek yang seperti bahasa dewa untuknya.

Helen dan Denise diberi tempat di kasur atas. Kasur Helen di atas Mei Ping, dan kasurnya di atas Cia-cia. Helen, yang sudah berada di sana lebih lama, tidak mengalami kesulitan bercakap-cakap dengan Mei Ping dan Cia-cia. Sementara Denise merasakan sebuah tembok yang tidak terlihat perlahan-lahan tumbuh di sekelilingnya.

"Lu e hiau kong Hokkian wa, bo?"*4) tanya Helen dari seberang. Mereka sudah bersiap-siap untuk tidur. Ini malam pertama Denise di asrama.

"Apa? Sorry, nggak ngerti." Jawabnya.

"Oh..aku pikir kamu bisa Hokkian."

"Nggak bisa, tapi bokap ..." Belum sempat Denise menyelesaikan kalimatnya Helen sudah mengucapkan sesuatu dalam dialek Hokkian kepada Mei Ping dan Cia-cia.

"Ooh.." Mei Ping melongok ke atas dan mengangguk sambil tersenyum kepada Denise,"That's fine, but you can speak English do you?"

"Yes." Ia menjawab Cia-cia dengan bingung, karena ditanya dengan tiba-tiba. Cia-cia mengangguk singkat dan memejamkan mata.

"Good Night!" Mei Ping melambai kepadanya sebelum menghilang di balik selimut. Lampu asrama pun dipadamkan. Denise menghela nafas. Ia berharap, setidaknya, Helen bertanya di mana ia tinggal di Jakarta, dari sekolah apa, kenapa ia sampai terdampar di sana, Denise merasa sepi. Di sinilah ia, berbagi ruang pribadi dengan tiga orang asing yang tidak peduli akan dirinya.

Kasur tingkatnya terasa asing dan tidak nyaman. Langit-langit terlalu dekat, seolah bisa turun dan menekannya rata. Di Jakarta, seorang guru les Mandarin datang ke rumahnya dua kali seminggu, tapi Denise tidak pernah berusaha untuk belajar bahasa Mandarin dengan baik. Ia tidak pernah merasa perlu untuk belajar bahasa asing. Teman-teman, televisi, sekolah, semua bicara dalam bahasa Indonesia.

"Mereka semua sama seperti kamu, Sun. Orang-orang Cina Indonesia yang sedang mengungsi. Kamu pasti bisa dapat banyak teman." Ucapan Papa terngiang-ngiang di telinganya.

Mei Ping dan Cia-cia selalu sibuk dengan kelas-kelasnya, jarang berada di dalam kamar. Kalaupun kembali ke kamar, mereka tidur, atau belajar. Takut mengganggu, Denise menenggelamkan diri dalam warna-warni halaman majalah yang dibelinya. Sementara Helen selalu ada di kamar sepupunya, sibuk menonton televisi atau jalan-jalan. Setiap pagi ia datang dan duduk di kelas sementara murid-murid yang lain hiruk pikuk bertukar cerita. Bukannya tidak berusaha. Ia sudah mencoba berteman dengan teman-teman yang duduk di sekitarnya. Mereka juga bukannya tidak ramah, hanya saja, Denise yakin, dirinya yang kurang menarik untuk dijadikan teman. Setelah beberapa hari, Denise pun menyadari bahwa, walaupun teman-teman sekelasnya, sesama pengungsi Cina dari Indonesia, mereka semua jauh lebih 'cina'. Mereka datang dari keluarga yang menggunakan dialek Cina di rumah. Kebanyakan berasal dari Medan. Masing-masing ada gank-nya sendiri. Gank Hokkian, gank Khe, gank Kanton, gank Mandarin, tapi tidak ada gank Indonesia.

Ia merasa tidak ada.

Kesendirian membuatnya menjadi seorang pengamat yang cermat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kesendirian membuatnya menjadi seorang pengamat yang cermat. Ia menyaksikan bahwa anak-anak Malaysia pun tidak menganggap anak-anak dari Indonesia. Seolah-olah ada kasta di antara mereka. Kasta tertinggi, mereka yang lahir dan besar di Malaysia, fasih berdialek Cina dan memegang erat tradisi leluhur. Kasta menengah adalah Cina Indonesia yang berstatus sebagai pendatang. Sanggup berbahasa Melayu dengan fasih, dengan satu dua dialek Cina, tapi hanya bisa membaca dan menulis dengan huruf alfabet. Sedangkan dirinya, adalah kasta terendah. Sama sipitnya, sama Cinanya, tapi hanya bisa berbahasa Inggris dan Melayu. Huana.

Inilah yang terjadi kalau setiap kelompok menggunakan bahasanya sendiri -- Pengkastaan, pengelompokkan, pengucilan. 

Seperti dirinya tidak dianggap oleh Helen, Helen tidak dianggap oleh Mei Ping dan Cia-cia. Tapi toh, Helen punya sepupunya. Sementara untuk dirinya, hanya ada kamar ini.

Di siang hari udara begitu panas, sehingga mereka harus menyalakan kipas angin gantung yang ada di langit-langit. Kalau sudah begitu, Denise jadi serba salah. Buat Mei Ping dan Cia-cia yang belajar di mejanya, mungkin hembusan anginnya pas. Tapi untuk Denise yang bersantai-santai di kasurnya, rasanya seperti diterpa angin topan. Wush, wush, wush! Kalau sudah begini terpaksa ia mengungsi ke meja belajarnya. Sama sekali tidak nyaman! Mau berbaring tidak bisa, duduk menelungkup pun pegal-pegal.

Papa salah besar! Ini bukan tempatnya! Cina-Cina modern seperti dirinya ada di sekolah lain! Yang menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar! Di Kuala Lumpur mungkin, bukan kampung seperti tempatnya ini. Ia yakin dirinya ada di sini semata-mata karena romantisme Papa yang ingin melihat anaknya menimba ilmu dari almamaternya juga.

"Sun-sun nggak suka sekolah ini! Sun-sun mau pindah!"

"Sun, di mana-mana adaptasi itu butuh waktu. Guang Ming itu sekolah bagus. Papa banyak belajar di sana. Bukan pelajaran saja, tapi juga bagaimana hidup mandiri."

"Papa nggak ngerti! Situasi Papa dulu dan Sun sekarang 'kan beda! Papa dulu besar di Medan, bisa bahasa Hokkian. Sun-sun mau pulang ke Jakarta saja!" Keluhannya di telepon tidak pernah berubah, ia sendiri bosan mengulang kata-kata yang sama.

"Sudahlah...kamu jangan bikin Papa pusing. Kamu tahu di Indonesia keadaannya seperti apa 'kan? Papa tidak mau kamu kembali ke sini. Papa bisa mati kalau lihat kamu kenapa-kenapa."

"Tapi Pa.."

"Sun, Papa sudah cukup pusing dengan urusan kantor. Jangan bikin Papa tambah pusing. Guang Ming tempat yang terbaik untuk kamu sekarang ini!"


------


*4) Apa kamu bisa bicara bahasa Hokkian?


------

Gambar Language barrier diambil dari : http://az616578.vo.msecnd.net/files/2016/04/01/6359514516588677842109195154_quotescover-pic48.png

Gambar perempuan kesepian diambil dari : http://divorcedwomensclub.com.au/wp-content/uploads/2015/09/Screenshot-2015-09-18-11.18.31-e1442544446432.png

Di Mana NegerikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang