11 September 2001

466 41 13
                                    


Rasa homesick kembali menjangkitinya. Denise kembali masuk dalam pusaran penyesalan diri yang tak berujung.Seandainya saja ia ada di Indonesia, segala keramaian, banyaknya teman-teman, ocehan Mama Papa, pasti bisa menutup kekosongan hatinya. Denise sempat mengutarakan keinginannya untuk pulang berlibur selama musim panas. Tapi Papa membujuknya untuk bertahan sampai tahun depan.

"Pulangnya nanti saja, pas Imlek bagaimana? Nanti Papa ajak nonton barongsai di Glodok." 

Ia mengalah. Pulang pada saat Imlek berarti masa liburnya lebih pendek, karena bukan bertepatan dengan libur sekolahnya. Tapi di sisi lain, dijamin ia bisa bertemu dengan segenap kerabatnya pada perayaan Xin Jia. Lagipula, melihat barongsai di Glodok? Wah! Itu baru seru!

Denise mengikuti perkembangan di Indonesia dengan antusias, ia masih belum membuang harapannya untuk kembali ke sana. Ia turut lega ketika Timor Timur akhirnya memperoleh kemerdekaan dan menjadi negara baru, Timor Leste. Bagaikan seorang istri yang sudah lama minta cerai dan akhirnya memperoleh apa yang diinginkannya. Ia tidak tahu apa-apa tentang keruwetan politik yang terjadi nun jauh di sana, tapi yang ia tahu: perasaan tidak pernah bisa dipaksakan. Sama seperti ia tidak bisa menyukai Panjul begitu mengetahui kebejatannya.

Denise senang mendengar Indonesia mempunyai presiden perempuan pertama dalam sejarah, Megawati Soekarnoputri. Ia tahu, sang ibu presiden bukan orang biasa, tapi datang dari keluarga politik bernama besar sehingga pengangkatannya sebagai kepala negara bukanlah suatu kejutan. Tapi setidaknya, ini adalah pencapaian besar bagi kaum wanita se-Indonesia, apalagi mengingat salah satu partai besar pernah menentang pencalonannya hanya karena ia bukan seorang pria.

Hanya 3 tahun Denise meninggalkan kampung halamannya, dan sudah ada 3 orang presiden yang berganti-ganti menjadi presiden. Dibanding dengan 30 tahun lebih yang hanya dikepalai 1 orang presiden, untuk seorang usahawan seperti Papa, sekarang adalah masa luan qi ba zao. Kacau beliau! Sementara bagi Denise, ini adalah bukti kongkrit kalau demokrasi politik di Indonesia sudah benar-benar berjalan. Finally, everybody has their own say. Mungkin inilah jalan yang harus ditempuh sebuah negara demi menuju ke suatu titik yang lebih baik. Mungkin segala kekacauan inilah yang akan mengubah Indonesia, menjadi negara yang sejahtera.

Ia bersyukur di musim panas seperti ini, prep-school-nya tetap buka. Kalau tidak ada kegiatan, ia bisa gila.Chatting session dengan Ferry sudah ia tinggalkan sama sekali. Ferry masih mencoba menyapanya beberapa kali lewat YM, sampai akhirnya ia blokir karena muak. Hanya tugas-tugas sekolah dan kerja part time di restoran yang menyelamatkannya dari perasaan kelabu yang selalu mengintai.

'Tahun depan merupakan tahun di mana anda bisa menata kembali kehidupan anda dari awal', demikian kata sebuah ramalan di majalah. Denise membacanya berkali-kali dan meresapinya.

Bob mengantarkan istrinya, Luna pulang ke Indonesia, mencoba mengambil hatinya. Restoran menjadi agak hectic karena ditinggal Bob. O O menggantikan tugas Bob dengan full, sehingga Denise dan Ci Felice harus bisa menangani para tamu berdua saja. Ketika Ci Felice menyarankan supaya O O mencari pegawai baru, O O menepisnya, "Bob cuma libur sebulan. We can survive." Jadi mereka pun berusaha survive. Mereka berlari pontang-panting dari dapur, ke meja kasir, kemudian menyelip-nyelip di antara meja tamu.

Ketika ada customer iseng menggodanya, Denise hanya membalas dengan senyum dingin. Bahkan sampai Om girang itu mencolek pinggulnya pun, Denise menahan diri untuk tidak mengadu ke O O dan mengganggu kesibukannya di dapur. Dengan senyum manis ia terima uang 50 dolar dari si Om di meja kasir, "Uang kembalinya saya ambil sebagai denda atas apa yang anda lakukan tadi. And please do NOT come back, atau saya akan lapor ke polisi dengan tuduhan sexual harassment. CCTV restoran ini merekam semuanya."

Di Mana NegerikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang