Kalau bosan di dalam kantor, Denise kadang-kadang ikut Papa inspeksi pabrik. Ini adalah kegiatan rutin Papa hampir setiap hari.
"Ayo! Ikut Papa olahraga!" begitu ajaknya.
Denise kemudian akan berjalan di belakang Papa menyusuri kompleks pabrik. Papa akan mulai dari bagian pemotongan bahan. Memberi satu dua patah kata memperingati buruh yang bekerja di bagian ini. Sudah ada beberapa orang yang tidak waspada dan terpotong tangannya ketika memasukkan bahan ke mesin. Kemudian mereka akan masuk ke tempat penjahitan. Ini adalah bagian yang paling ramai. Berpuluh-puluh orang duduk menghadap mesin jahit yang besar. Sebagian besar adalah wanita. Tentu saja di pabrik tidak ada AC, hanya kipas angin. Denise kagum pada mereka. Bisa mengerjakan tugas yang butuh ketelitian tinggi dalam keadaan pengap.
Kemudian bagian perakitan, pengepakan, dan gudang. Tidak lupa mereka menengok ke kolam limbah, memastikan kolam tersebut tidak bocor. Beberapa tahun sebelumnya, sebuah keretakan yang tidak terlihat membuat air limbah merembes ke got dan mencemari air buangan di wilayah sekitar. Perusahaan harus membayar puluhan juta ketika penduduk menuntut pertanggungjawaban.
Sebenarnya, pabrik berada di kawasan industri., tidak seharusnya ada rumah penduduk di sekitarnya. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, rumah-rumah non permanen bermunculan di sudut-sudut tak bertuan. Penduduk liar ini menempatkan dirinya pada resiko yang besar, menggunakan air tanah dan menghirup udara di kawasan yang penuh buangan asap pabrik. Tidak heran kalau pada akhirnya mereka jatuh sakit.
Papa berhenti di tengah jalan. Tangannya menarik sesuatu dari tumpukan benda rongsokan tak bertuan yang digeletakkan di dekat pintu masuk.
"Pardi!" Seorang buruh datang dengan berlari-lari kecil.
"Ini kenapa ditaruh di sini?"
"Rusak, Pak. "
"Kalau rusak jangan ditaruh di tengah jalan begini dong." Papa membungkuk dan meneliti benda itu.
"Ini masih bisa diperbaiki. Jangan dibuang."
"Baik, Pak."
"Bawa ini ke gudang. Kamu minta tolong Suratman untuk dibetulkan. Saya tidak mau lihat ini di sini lagi besok. "
"Iya, Pak."
"Kalau rusak jangan dibiarkan begitu saja. Cepat-cepat ditangani."
"Baik, Pak." Pardi segera membereskan tumpukan besi itu dengan gugup .
Papa berjalan lagi di depan Denise. Keringatnya mencetak bentuk kaus singlet yang dipakainya, "Kamu lihat, Sun? Kalau kerja apa pun, kita tidak bisa hanya mengatur dari atas. Harus turun ke bawah. Banyak yang terabaikan kalau kita malas turun tangan. Parts mesin tadi hanya rusak sedikit. Bayangkan kalau dibiarkan begitu saja, kena hujan, angin, terus karatan. Akhirnya mesti beli baru. Yang rugi 'kan kita juga." Papa menggeleng-geleng, "Membetulkan mesin saja kok mesti menunggu perintah, ya? Itulah, orang yang tidak punya inisiatif dan hanya menunggu disuruh selamanya akan disuruh-suruh!" Papa berdecak kesal dan berjalan dengan langkah yang panjang-panjang.
Denise tidak pernah benar-benar melihat Papa bekerja sebelumnya. Setelah ia menyaksikannya sendiri, hatinya bangga. Papa bukan pemimpin yang bertengger di atas, tapi yang menyingsingkan lengan dan tidak segan turun ke bawah.
Pada suatu hari Minggu, sepulang dari kunjungan ke rumah saudara, Papa mampir ke kantor sebentar, mengambil catatan pekerjaannya yang tertinggal. Mama memilih untuk tinggal di mobil, sementara Denise turun, ia harus ke WC. Baru beberapa langkah mereka berjalan, Papa sudah menemukan sesuatu yang tidak beres.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Mana Negeriku
Fiksi SejarahHi Guyz, Does my name ring a bell? Hopefully yaaa.. Saya penulis Omiyage, Sakura Wonder, Only Hope dan Wander Woman. Ini pertama kalinya saya posting naskah di Wattpad. Berbeda dengan novel yang begitu diterbitkan lepas hubungan, di Wattpad, saya te...