Wo Ai Ni

591 60 5
                                        


Ketika Papa memberi pilihan, Denise langsung menjawab dengan yakin, "Pulang, Pa." Papa mendaftarkannya untuk ikut kursus selama 9 bulan di sekolah ini. Sekarang, 9 bulan itu sudah akan berakhir.

"Kamu yakin nggak mau melanjutkan? Kalau mau diperpanjang gampang kok." tanya Papa di telepon.

Ia tahu tujuan Papa hanya satu, menyingkirkannya sejauh mungkin dari Indonesia.

"Yah...di Indonesia juga keadaannya sudah mulai stabil 'kan? Aku mau liburan." Sudah hampir dua tahun ia tidak pulang ke Indonesia.

"Ya...dibilang stabil sih...lumayan.." 

Papa tidak mungkin bisa membohonginya. Mama selalu memberi tahunya tentang situasi di Indonesia. Entah karena Presiden Habibie berhasil atau karena rakyat sudah cukup puas setelah menggulingkan mantan Presiden Suharto, keadaan pelan-pelan pulih kembali. Warga keturunan bisa bernafas lega sedikit. Perhatian yang besar dari negara-negara dengan populasi Chinese yang cukup besar, seperti Singapura, Hongkong, Taiwan, dan tentunya Cina, mendorong pemerintah untuk lebih memperhatikan warganya yang selalu dikelasduakan ini. Pemerintah Indonesia juga tentu tidak mau warga keturunan berbondong-bondong lari ke luar negeri dengan semua asetnya.

"Hubungan kita dengan negara ini bagaikan benci dan cinta.  Kalau semua orang Cina pindah dan menutup usahanya, pengangguran pasti menciptakan masalah baru di Indonesia." Sambung Papa.

Presiden Habibie sempat mengeluarkan perintah untuk tidak menggunakan istilah 'pribumi' dan 'non-pribumi' yang langsung membedakan orang Cina atau bukan Cina. Denise tertawa mencemooh waktu mendengarnya. Ia tidak keberatan disebut non-pribumi, warga keturunan, atau Cina sekali pun. Whatever!! Nggak efek! Buatnya itu tidak penting. Yang penting adalah bagaimana kaumnya diperlakukan!

Tapi, yah...setiap perubahan butuh waktu. Peraturan ini, walaupun mungkin tidak memberikan perubahan besar, paling tidak merupakan awal yang baik.

Kemudian, pada bulan Oktober 1999, Presiden Habibie turun takhta. Seorang figur eksentrik bernama Abdurrahman Wahid naik dan menggantikannya. Ia adalah seorang pemimpin agama Islam yang sangat populer. Pandangannya yang moderat memenangkan hati orang banyak. Ia adalah cucu Hasyim Ashari! Pahlawan yang namanya dipakai untuk jalan raya itu! Sayang, penampilanya tidak semewah silsilahnya. Presiden yang akrab dipanggil Gus Dur ini sudah tua. Tua sekali kalau dibanding dengan mantan Presiden Habibie yang matanya selalu bersinar-sinar dan bicara dengan penuh semangat. Denise melihatnya pertama kali pada siaran berita di lobby asramanya. Gus Dur tampak seperti engkongnya dulu. Duduk di kursi roda, matanya rabun, bicaranya pelan. Denise ragu ia bisa bertahan sampai lima tahun.

Wakilnya adalah Megawati Sukarnoputri. Putri sulung mantan Presiden Sukarno yang legendaris. Tidak kalah bangsawannya dari Gus Dur sendiri. Mereka berdua bak utusan langit yang diutus untuk membereskan kekacauan di bumi pertiwi. Sama seperti Gus Dur, Megawati juga jauh dari imej muda dan bersemangat. Ia selalu tampil tenang, tidak banyak berkata-kata. Tubuhnya besar dan kulitnya putih. Persis seperti encim-encim yang dulu tinggal di kompleks rumahnya. Encim itu setiap hari berjalan memutari kompleks membawa anjingnya jalan pagi. Kalau Denise menyapanya, "Pagi, Ncim." Encim itu hanya akan mengangguk dan tersenyum tipis.

Mama jugalah yang memberitahunya kalau Presiden Gus Dur telah dengan resmi mengijinkan warga keturunan untuk bebas merayakan Xin Jia. Bahkan, mulai tahun depan, Imlek akan dijadikan hari libur nasional.

"Yang benar Ma?"

"Iya, betul!" Mungkinkah ada perubahan yang begitu besar? Ia baru meninggalkan Indonesia selama dua tahun. Mungkinkah barongsai bebas berkeliaran di kampung halamannya?

Di Mana NegerikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang