Hi Guyz,
Does my name ring a bell? Hopefully yaaa..
Saya penulis Omiyage, Sakura Wonder, Only Hope dan Wander Woman.
Ini pertama kalinya saya posting naskah di Wattpad. Berbeda dengan novel yang begitu diterbitkan lepas hubungan, di Wattpad, saya te...
Papi menyerah dan membiarkan Mami menawanku di rumah. Koko juga tidak diperbolehkan kuliah. Aku menangis berjam-jam di kamar, tidak tahu apa yang harus kulakukan. Tidak pernah, seumur hidupku, aku merasa begitu ingin pergi ke sekolah. Aku membayangkan kalian dengan seragam, duduk berbaris dan menghadap kertas ujian dengan hanya suara ujung pensil 2B yang mengetuk-ngetuk meja kayu. Oh...I wanted so badly to be there. Aku sudah belajar habis-habisan, ujian itu adalah garis akhir perjuanganku selama tiga tahun di SMP. Tapi sekarang, ibarat sebuah pertandingan marathon, aku keluar dari jalur sementara kalian berlari ke finish line.
Menyedihkan.
Setelah itu aku bosan, dan mulai membaca-baca majalah, kemudian nonton DVD sampai tertidur. Papi bersiap-siap membuka bengkel, sementara Mami sudah seperti orang gila, mengepak-ngepak barang untuk mengungsi, katanya.
Siang-siang, sekitar jam satu, Mami membangunkanku dari tidur siang dan berteriak-teriak menyuruhku bersiap-siap pergi ke rumah I I Siany. Mereka benar. Terjadi kerusuhan yang kabarnya ditargetkan pada orang-orang kita. Beberapa saudara kami menelepon memberi peringatan karena mereka tahu rumah kami terletak di jalan besar. Apalagi pintu bengkel Papi selalu dibuka lebar-lebar. Aku hanya sempat berganti baju dan menyambar dompet. Aku beruntung punya Mami yang begitu penuh persiapan. Dia sudah mengepak barang-barangku juga! Crazy, huh?!
Kami langsung naik ke mobil dengan koper-koper dan berangkat. I I Siany tinggal di Taman Sari, kompleks orang Cina memang, tapi penduduk kawasan itu sudah mengeluarkan uang untuk menyewa tentara. Setidaknya tempat I I Siany lebih aman daripada rumah kami sendiri.
Kamu tahu Nis?! Aku melihatnya dengan mata kepala sendiri. Truk berisi puluhan orang yang sudah kehilangan akal. Mereka berteriak-teriak, menyanyi, mengacung-acungkan tangan, mereka tepat, ada di belakang kami! Sekitar 100 meter, persis di belakang kami! Kalau bukan karena telepon dari saudara-saudara dan ocehan Mami, mungkin aku mengira mereka hanya supporter sepak bola. Tapi kami tahu, mereka bukan main-main, Nis! Mami berteriak-teriak "Cepat! Cepat!" sementara Papi dengan panik menginjak gas.
Mengerikan sekali Denise. Jalan depan rumah kami, Daan Mogot, kamu tahu 'kan? Itu jalan yang selalu padat dari pagi sampai pagi. Macet terus! Makanya bengkel motor Papi laku keras, selalu ada saja motor yang tabrakan, pesok, mogok, bannya kempes. Tapi hari itu, jalan itu seperti jalan tol! Kosong! Plong! Dalam seketika kami melesat dan meninggalkan truk itu!
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kami menginap di rumah I I Siany sampai hampir seminggu. Papi yang mula-mula memberanikan diri pulang untuk melihat keadaan rumah. Koko ingin ikut, tapi Papi melarangnya. Ia bilang, kalau sampai terjadi apa-apa padanya, paling tidak masih ada laki-laki yang bisa melindungi aku dan Mami. Ngeri sekali mendengarnya, Nis. Seakan Papi hendak pergi ke medan perang dan belum tentu kembali. Ia mengusapkan bubuk kopi banyak-banyak ke sekujur tubuhnya untuk menyembunyikan kulitnya yang putih. He looked ridiculous, menggelikan. Bubuk kopi itu tidak menutupi kulitnya dengan rata, lagipula, matanya yang sipit tidak bisa diubah.
Aku benar-benar sedih melihatnya. I mean, dari kecil aku selalu merasa Papi begitu besar, berkuasa, bisa segala sesuatu, tapi saat itu, aku baru sadar bahwa Papi juga manusia biasa yang bisa celaka. Aku mengurung diri di kamar dan berdoa supaya dia kembali dengan selamat. Aku tidak bisa terima kalau dia mati dalam keadaan berlumur bubuk kopi seperti itu. Too pathetic.
Well, dia kembali. Dengan muka lesu. Mengabarkan kalau rumah kami sudah habis dijarah.
Kami masih berada di rumah I I Siany kira-kira seminggu lagi. Tidak ada yang bisa dikerjakan selain menonton TV dan mengikuti berita. Kami pulang dan menemukan apa yang Papi katakan benar. Sewaktu Papi pergi untuk melihat keadaan rumah, ia tidak berani berlama-lama di sana sendirian. Sehingga keadaan rumah kami masih persis sama seperti waktu terjadi kerusuhan itu, Nis. Bengkel kami hancur lebur, semua yang bisa diambil sudah diambil. Tampak sekali mereka bekerja dengan kalap, meraup segala sesuatu. Baut, mur, onderdil-onderdil yang kami stok, lenyap semua. Sampai ban-ban yang sudah bocor, yang kami kumpulkan sebagai sampah pun diambil.
Mereka juga berhasil masuk ke atas, ke lantai dua dan tiga ruko yang kami tinggali. Kamar kami diobrak-abrik, tentu saja barang-barang elektronik ludes semua. Televisi, video game, kulkas, hair dryer, bahkan kursi pijat Papi yang begitu besar pun diangkut keluar. Pastimereka kembali beberapa kali, karena kami biarkan rumah kosong selama hampir dua minggu. Even baju-baju dalam yang sedang dijemur di loteng pun lenyap, Nis! I was shocked! Kok, tega-teganya, tidak menyisakan apa-apa sedikit pun. Keserakahan seperti apa yang menguasai mereka sampai celana dalam bekas pun diambil?
So, after that, Mami minta pindah ke luar negeri. Cukup katanya, cukup dua kali saja ia mengalami kerusuhan seperti ini. Mami begitu yakin, apapun yang pemerintah lakukan, orang-orang Cina tidak akan pernah dianggap sebagai orang Indonesia. Kerusuhan rasial seperti ini akan muncul setiap beberapa waktu sekali. Pasti akan ada lagi dan lagi dan lagi...dan Mami menolak untuk mengalaminya lagi.
Kiriman coaster dari teman sesama penulis😊
That's what friends are for:
Mendorong ketika mandeg, menarik ketika seret, dan memeluk di garis finish
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
-----
Gambar Bear di jendela diambil dari http://img14.deviantart.net/1f22/i/2010/195/0/f/reminiscing_by_luthiensnowtail.jpg
Gambar mobil ngebut diambil dari http://www.metalsucks.net/wp-content/uploads/2010/03/pd_speeding_car_070629_ms.jpg