Mahkota Ciptaan Allah

684 63 6
                                    


Denise terbangun. Sinar matahari pagi yang menyelusup lewat lubang angin. Persis mengenai wajahnya. Yang lain masih tertidur. Dengan hati-hati ia melepaskan diri dari teman-teman yang terlelap di sekelilingnya. Eva berbalik dan menggumam ketika ia berdiri. Tapi kemudian tidur lagi.

Denise memandang keluar. Hatinya bergemuruh, tersengat rasa kagum. Langit menaungi gunung, gunung memperanakkan lembah, lembah mengalirkan sungai, sungai menghidupkan pohon. Tidak heran orang Cina dengan angkuhnya menamai negara mereka Zhong Guo. Middle Kingdom. Pusat bermuaranya semua berkat sorga.

Tempatnya berada sekarang ternyata sangat tinggi. Entah berapa ribu meter di atas permukaan laut, dua jam pendakian semalam tidak sia-sia. Warna-warni alam mengelilinginya 360 derajat. Tanah yang merah kecoklatan basah oleh embun, daun yang hijau mereguk sinar matahari pagi dengan rakus, semak-semak menyembunyikan makhluk-makhluk kecil yang mulai berkeriapan keluar dari perut bumi. Dan langitnya...ohh..langitnya, biru tak bercela, luas, tak terbatas, bagai laut mahadaya. Jalur yang dilalui Chang Cheng bentuknya seperti jalan setapak di atas gunung yang sempit. Tidak ada apa-apa lagi di kanan kirinya. Hanya batu-batu terjal dan jurang. Ia merinding membayangkan beribu-ribu tentara di jaman dahulu yang telah jatuh terguling ke bawah. Tiada ampun.

Denise berjalan perlahan-lahan. Celingukan. Kebelet. Sebelum yang lain bangun ia ingin sudah selesai buang air kecil. Tidak ada pohon-pohon besar di sekelilingnya. Hanya semak-semak. Denise berjongkok dan meluruskan kaki kanannya ke bawah. Sementara tangannya berpegangan pada ranting pohon-pohon rendah yang agak kuat, ia beringsut turun. Pos tempat mereka menginap dibangun di atas undakan. Di sekitar pos tanahnya sudah dibersihkan dari tanaman untuk memudahkan orang lalu lalang. Ia harus turun agak ke bawah untuk mencari semak yang ideal sebagai WC.

Lega. Denise menyembulkan kepalanya dari atas semak-semak. Hatinya girang. Ini adalah Toilet nomor satu di dunia! Pemandangan yang menawan terhampar gratis di sekelilingnya. Seekor burung terbang dan hinggap di dekatnya, menyadarkan Denise dari lamunannya. Ia mengancingkan jeans dan memanjat naik.

Dengan bantuan kedua tangannya ia pun berhasil kembali ke depan pintu pos. Punggung Panjul yang lebar membelakanginya. Sosoknya terlihat begitu kekar. Betisnya yang berotot menghujam rerumputan di bawahnya. Ia menghadap ke arah matahari. Ujung bayangannya yang panjang bersentuhan dengan ujung sepatu Denise. Denise baru membuka mulutnya untuk menyapa ketika segaris air bening mengalir di antara kedua kaki Panjul.

Ah!

Denise memalingkan wajahnya. Tapi kemudian pikiran nakal membuatnya melirik. Pertunjukan di depan matanya benar-benar tidak bisa dilewatkan. Panjul berdiri di pinggir tebing, menghadap lembah dan gunung dan pohon dan awan dan hutan dan langit dan matahari dan batu dan sungai dan...dan...dan... dan Panjul mengencinginya! Ia mengencingi semua itu!

Sebersit rasa iri mengganggu hatinya. Laki-laki diberi Tuhan hak istimewa untuk kencing berdiri. Panjul, bahkan diberi kesempatan untuk mengencingi karya Tuhan yang sedemikian indahnya! Ia adalah mahkota ciptaan Allah. Begitu gagah. Begitu ksatria. Begitu..

"Pagi."

"Eh...pagi." Denise hampir mati berdiri. Panjul tiba-tiba berbalik dan menyapanya.

"Udah lama bangunnya?"

"Oh..nggak kok, habis...." Denise bingung sesaat. Ia malu mengaku habis buang air kecil. Tapi kalau tidak, untuk apa ia berdiri di dekat semak-semak, tepat di belakang Panjul yang sedang buang air? ".....habis pipis." Jangan sampai ia dikira mengintip!

"Sama doong..." Jawab Panjul. Ia berputar dan masuk ke dalam pos. Denise terpaku. Pipinya panas.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Di Mana NegerikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang