Kua Mia

805 76 7
                                        


Di depan Buddha yang bergaya seperti putri duyung, Denise terpekur dengan tiga batang hionya. Ci Suci tampak serius dengan doa-doanya. Matanya terpejam dan keningnya berkerut-kerut. Denise sendiri tidak tahu apa yang harus ia doakan. Walaupun rapornya menulis bahwa ia beragama Buddha, ia tidak pernah dibawa ke kuil oleh Papa Mamanya. Kecuali beberapa kali dalam setahun, seperti pada saat Ceng Beng *9) , untuk berdoa di depan abu A Kong. 

Bagi Denise, agama Buddha adalah bagian dari ke-Cina-annya, sama seperti les bahasa Mandarin, dan Xin Jia *10) . Ia tidak tahu Buddha itu siapa dan kenapa patungnya ada di mana-mana. Ia hanya tahu kalau hio yang sudah dinyalakan harus dipegang sebentar di depan Buddha, atau makam, atau saji-sajian, kemudian diayun tiga kali pai-pai, dan ditancapkan ke dalam kendi abu.

"Eh, kalian mau kua mia nggak? Mumpung lagi di sini." Ci Suci mengedip-ngedipkan matanya yang perih terkena asap hio.

"Kua mia?"

"Ya, ramal nasib."

"Wau mau mau!" Denise dan Ci Felice menyambut dengan antusias.

Mereka pun mendatangi counter kua mia. Di balik meja, duduk seorang nenek peramal yang mengenakan baju berwarna ungu metalik dengan kancing sulam. Rambutnya yang hampir putih semua digelung ke atas, ditahan dengan tusuk konde dan beberapa jepitan kecil. Warna putih rambutnya membuat semua jepitan-jepitannya tampak jelas, seolah-olah sengaja dipakai sebagai aksesoris. Kerut-kerut di mukanya, gelambir lehernya dan kukunya yang dicat dengan kutek bening membuatnya seperti kuil itu sendiri: 'Ribut'. Sesekali pipi sebelah kanannya tertarik ke arah mata. Penyakit saraf muka. Ngek, ngek, seolah-olah dia sedang mememberi isyarat pada seseorang. Ngek, ngek. 

Nenek peramal itu cukup sibuk. Di depan mereka bertiga ada 5 orang yang mengantri. Tampaknya mereka satu rombongan. Si nenek menggunakan kaca pembesar untuk melihat garis tangan para pengunjung. Tanpa sungkan-sungkan ia menyibakkan rambut yang menutupi wajah customer-nya supaya bisa melihat dengan jelas setiap sudut wajah orang tersebut. Mereka bertiga harus menunggu selama hampir dua puluh menit sebelum Ci Felice mendapat giliran. 

"Akan menikah dengan seseorang dari bisnis perikanan dan perudangan." Begitu ramal si Nenek dengan terburu-buru untuk Ci Felice yang diterjemahkan Ci Suci. Ci Felice masih bengong ketika Nenek ini mengibaskan tangannya, menyuruhnya pergi. Orang-orang di depan mereka masing-masing paling tidak mendapat jatah lima menit. Sementara Ci Felice, paling-paling hanya dua menit.

"Lai ce peng, lai ce peng !"*11)  Nenek itu menunjuk-nunjuk dirinya tidak sabar. Ngek, ngek,...ngek. Denise segera duduk dan menyerahkan kedua tangannya. Nenek itu mengamat-amati telapak tangannya seperti sedang mencari kutu. Mulutnya komat-kamit. Pipinya makin sering tertarik. Ngek, ngek,ngek, ngek.

  "Lu ai mi hua mi ?" *12) Keningnya berkerut sepuluh lipatan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lu ai mi hua mi ?" *12) Keningnya berkerut sepuluh lipatan.

"Err...masa depan!" Ci Susi langsung menerjemahkannya.

"Masa depan itu banyak! Cinta? Sekolah? Bisnis? Apa? Cepat!" Suaranya meninggi. Denise gugup. Sekarang bukan hanya pipi nenek ini saja yang bergerak. Hidungnya meringis-ringis, matanya berkedip-kedip dan bibirnya mengerucut-ngerucut. Cut, cut, cut, ngek,ngek, dip, dip.

"Em...apa saya bisa pulang ke Indonesia?" Si nenek melirik dari atas bingkai kaca matanya. Sesaat semua gerakan di mukanya terhenti. Ia pun mengarahkah kaca pembesarnya dan mendekatkan wajahnya ke wajah Denise. Gerakannya begitu cepat sampai Denise terkejut dan mengelak ke belakang.

"Aduh!"

"Eh..sorry..sorry.." Kepalanya menghantam hidung Ci Felice yang berada persis di belakang. Konsentrasi nenek peramal sama sekali tidak terpecah. Ia mengamati muka Denise dari jarak super dekat. Denise menahan nafas. Apek. Bau bedak si nenek yang sudah luntur.

"Haiya........angin bertiup ke Utara, kamu mau ke Selatan." Ngek,ngek.

"Keras kepala!" Kemudian nenek itu berdiri dari kursinya dan menarik tangan Ci Suci, menyuruhnya duduk. Setelah, lagi-lagi waktu yang teramat-amat singkat, si Nenek menggeleng-gelengkan kepalanya sambil bergumam. Ci Suci melongo.

"Kenapa? Kenapa? Apa katanya?" Denise dan Ci Felice penasaran.

"Katanya, aku ini bidadari nyasar yang sedang dihukum jadi manusia. Jadi dia tidak berani meramalku." Muka Ci Suci masam. Denise dan Ci Felice terkikik-kikik. Sementara itu si Nenek berdiri dan berlari pontang-panting. Mereka bertiga berpaling dan melihat sebuah pintu yang dituju nenek itu. Di atasnya tertera nama ruangan itu: 

TOILET

----------

*9) Perayaan mengingat arwah dengan mengunjungi kuburan leluhur

*10) Tahun baru Imlek

*11) Ke sini, ke sini

*12) Kamu mau tanya apa

-----------------

Teman-teman, jreng, jreng...iklan dulu ya..saya bersama tiga teman penulis : Nien Addison, Irene Dyah dan Fina Thorpe-Willett akan menerbitkan buku pada bulan September ini lewat Gramedia Pustaka Utama. Tentang ibu2 muda yang terpaksa ikut suami pindah ke luar negeri  menjadi ekspatriat dan harus berjuang beradaptasi dengan lingkungan, culture shock dan kesepian. Namun mereka memperoleh teman-teman baru, pengalaman yang tak terduga dan pengertian yang baru akan diri mereka sendiri. Nantikan petualangan mereka!!

#Novel Wander Woman

Kisah Sabai, Cilla, Arumi dan Sofia

....Home is never a place, but people..and sometimes, even suitcases....

and sometimes, even suitcases

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


-----------

Gambar Buddha berbaring diambil dari http://g02.a.alicdn.com/kf/HTB1xV4SIVXXXXbsapXXq6xXFXXX5/zhanglei361042--tibet-buddhism-bronze-gilt-sakyamuni-Shakyamuni-Tathagata-Sleeping-buddha-statue.jpg

Gambar meramal garis tangan diambil dari https://mgeorge3948.files.wordpress.com/2014/08/fortune-teller-2.jpg

--------

Di Mana NegerikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang