Perundingan

452 55 2
                                    

(YUNUS DENG)

Aku berbisik pada Burhan untuk menghubungi Koko yang sedang ada di luar, dan, yang paling penting, polisi. Burhan langsung mengangguk dan menghilang. Tidak ada yang bisa kulakukan selain mengulur waktu sampai polisi datang. Aku hanya berharap agar demo ini tidak berubah menjadi pertumpahan darah. Hatiku berdegup setiap kali ada batu yang melayang. Aku was-was. Sun-sun masih ada di dalam.

Salah seorang buruh berteriak-teriak memanas-manasi keadaan.

"KAMI KERJA BANTING TULANG SETIAP HARI. SEPERTI SAPI PERAH!"

"HUUUUUUUUUUUUUUU!!"

"PERUSAHAAN SEMAKIN BESAR, STAFF DAN MANAJER SEMAKIN KAYA. TAPI BURUH TAMBAH MISKIN!"

"HUUUUUUUUUUUUU!!"

Rasanya ingin aku balas melempari mereka. Siapa bilang kami bertambah kaya?! Dulu, staff bisa mendapat dua kali bonus dalam setahun. Dulu, kami bisa pasang iklan, bisa mencetak kalender dan agenda untuk dibagi-bagikan, bisa membayari staff untuk jalan-jalan dan makan di restoran, bisa menyewa bus untuk buruh-buruh yang mudik. Sekarang kami tidak sanggup lagi. Sudah lima tahun belakangan ini bahkan aku dan Koko bahkan tidak mengambil bonus kami. Kalau pegawai bisa dapat THR, atau kenaikan gaji, sebagai pemilik, kami bertanggung jawab atas semua kerugian. Aku dan Koko, hanya menerima gaji bulanan. Tidak ada bonus, tidak ada cuti.

Setelah polisi datang, baru pembicaraan berlangsung dengan beradab. Luar biasa, padahal mereka tidak melakukan apa-apa. Seragam mereka benar-benar sakti!

"Saudara-saudara harap tenang. Mari kita diskusikan masalah kita dengan kepala dingin. Tidak perlu teriak-teriak atau lempar-lempar batu. Itu semua tidak menyelesaikan masalah." Salah satu dari mereka yang tampak lebih senior mengambil alih keadaan. Para buruh bahkan sudah tenang sebelum ia berbicara.

Aku, Koko, Burhan, dua orang polisi dan tiga wakil buruh dari masing-masing persatuan buruh masuk ke dalam kantor Burhan yang berada di mulut pintu pabrik. Tidak ada AC, udara panas sekali siang itu. Pembicaraan berlangsung lama. Dalam waktu satu jam pertama, dengan blak-blak-an, kami membeberkan perhitungan bisnis. Berapa persen dari keuntungan yang harus dipakai untuk membeli bahan-bahan dasar, kemudian biaya listrik dengan tarif industri, kemudian berapa persen lagi yang harus kami cadangkan untuk perawatan mesin, truk-truk pengantar barang dan gedung pabrik. Aku sangsi mereka mengerti. Salah seorang dari mereka, Sudjana, berusia sekitar empat puluh tahunan, adalah ketua salah satu persatuan buruh di pabrik kami. Ia tampak lebih tenang dan mau diajak kompromi dibanding Achmad.  Sementara Sabar, lebih banyak diam, seperti namanya. Aku menebak usia Achmad baru dua puluh tahun. Mungkin kurang. Dia adalah ketua persatuan buruh lainnya. Lidahnya panas, walaupun tidak bisa menangkis argumen dengan logika. Gertakannya memekakkan telinga.

"ANAK-ANAK KAMI BUTUH BIAYA SEKOLAH!"

"HARGA-HARGA BARANG NAIK LEBIH CEPAT DARI GAJI KAMI!"

Aku dan Koko hanya mengangguk-angguk sambil menelan perasaan. Di dalam hati aku membalas makiannya. Bukankah pemerintah menjanjikan pendidikan gratis untuk anak-anak tidak mampu? Enak saja dia menagihnya kepada kami. Kamu salah sasaran!

Harga barang yang naik terus? Rupiah tidak pernah benar-benar kembali sehat seperti sebelum krisis. Kami juga korban!

Kedua polisi itu bagaikan hiasan. Mereka tidak terlalu tahu seluk-beluk masalah. Yang lebih muda, bahkan susah payah menahan kantuk. Aku berdiri dan membuka jendela, mungkin angin segar bisa mendinginkan kepala Achmad. Di luar, buruh-buruh berleha-leha, duduk-duduk di lapangan pabrik. Seorang pemuda merayu seorang gadis di sebelahnya. Sempat-sempatnya!

Di Mana NegerikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang