Keputusan Final

407 39 0
                                    


Satu-satunya kesempatan Denise berdua-duaan dengan Dinda adalah waktu mereka berdua ke kamar kecil. Begitu Bima hilang dari pandangan mereka, hal pertama yang Dinda tanyakan adalah, "Gimana cowok-ku?" dengan mata berbinar-binar.

"He can go to hell! Apa nggak ada topik lain?" batinnya berteriak, tapi yang keluar dari mulutnya, "Boleh juga, sepertinya dia sayang sekali sama kamu." Dinda pun berbunga mendengarnya.

Satu hal yang paling ia benci adalah, di depan Bima, Dinda terlihat palsu! Sejak dulu Dinda memang lebih kemayu, lebih cewek dari dirinya, tapi di depan Bima, Dinda menjadi gadis kasmaran yang mengeluarkan suara mendayu-dayu, menembakkan kerlingan mata menggoda, serta memuntahkan tawa bak mutiara tiruan yang terlepas dari rantainya, memantul-mantul di lantai, berkilat-kilat, murahan!

"Kamu gimana, Nis?" tanya Dinda.

"Gimana?"

"Ada cowok nggak?"

"Ada." Jawab Denise menahan kesal.

"Seperti apa orangnya?" Alis Denise naik mendengar pertanyaan yang lebih spesifik. Apa pedulinya sih? Apa Dinda ingin membanding-bandingkan?!

"Mmm...tinggi, baik..." benaknya berputar-putar mencari jawaban yang tepat, "pakai kaca mata, kuliah jurusan Hubungan Internasional, suka membahas politik, orang tuanya bisnis hotel."

"Kedengarannya dia seperti pria idaman." Puji Dinda tulus. Denise mengangguk dan menerawang, "Memang..."

Segalanya jauh lebih meriah daripada yang ia bayangkan. Papa menepati janji dan membawanya untuk melihat suasana tahun baru Imlek di Glodok. Hari itu semua toko, sudut jalan, tembok, atap-atap toko dibalut dengan warna merah menyala. Warna hoki-nya orang Cina. Lentera-lentera bertuliskan kaligrafi emas bergelayut semangat di langit-langit toko dan bau hio dari lilin-lilin hias dan altar leluhur memenuhi udara.

Manusia berlimpah ruah. Bukan saja encim-encim dan amoy-amoy, tapi abang-abang dan ibu-ibu berjilbab pun turut berdesak-desakan menyaksikan pertunjukkan barongsai. Singa-singaan bertubuh panjang itu meliuk-liuk dengan gesitnya. Penonton bersorak setiap kali si barongsai berjumpalitan. Sesekali sorakan itu berubah jadi teriakan pecah ketika mercon diledakkan, Denise menutup telinganya rapat-rapat.

Belum lima tahun ia meninggalkan negeri ini karena kaumnya dibantai, tapi sekarang, segala sesuatu yang berbau Cina jadi trend'! Sekolah-sekolah memasukkan kurikulum bahasa Mandarin, bahkan ada yang sejak dari Taman Kanak-kanak. Kursus bahasa Mandarin menjamur di mana-mana, dan Shanghai Dress bersaing dengan kebaya berebut rupiah. Denise tidak menyangka ia akan hidup untuk melihat jaman yang seperti ini. Dulu, sewaktu meninggalkan Indonesia, ia hanya membawa satu koper dan harga diri yang terkoyak. Tapi lihatlah sekarang! Support untuk kaumnya mengalir deras! Tidak ada lagi yang perlu ia takuti untuk kembali ke negeri ini.

Tapi lagi-lagi Papa menghardiknya, "Anak bodoh! Orang susah-susah mau ke luar negeri tidak bisa, kamu malah mau pulang!" Papa kemudian merepet tentang teman-temannya yang bangkrut karena krisis moneter, sehingga anak-anaknya yang sedang disekolahk...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tapi lagi-lagi Papa menghardiknya, "Anak bodoh! Orang susah-susah mau ke luar negeri tidak bisa, kamu malah mau pulang!" Papa kemudian merepet tentang teman-temannya yang bangkrut karena krisis moneter, sehingga anak-anaknya yang sedang disekolahkan di luar negeri harus dipulangkan tanpa gelar, dengan pendidikan setengah jalan. "Kalau bukan karena Papa pikir panjang, mendaftar untuk mendapat green card sepuluh tahun yang lalu, uang sekolahmu di Amerika bisa berlipat-lipat, tahu! Dan Papa mungkin juga sudah harus memulangkan kamu ke sini karena tidak sanggup bayar! Apa kamu tidak bisa melihat betapa beruntungnya dirimu? Begitu banyak orang mau kuliah tapi tidak punya uang, ini, sudah enak-enak disekolahkan di luar, masih saja berpikir yang bukan-bukan!" Papa menggeleng-gelengkan kepalanya. Denise juga menggelengkan kepalanya, Papa tidak mengerti! Denise tidak melihat keadaannya sama sekali sebagai suatu keuntungan.

Papa setuju kalau keadaan di Indonesia sudah membaik. Ekonomi dan politik sudah mulai stabil, sehingga ada ruang untuk memikirkan kaum minoritas. Tapi ia tidak yakin kalau ini bisa bertahan lama. Paling-paling pemerintah hanya ingin menjawab kecaman dunia internasional, sebab kalau tidak, sudah dipastikan hubungan dagang dengan negara-negara berpenduduk mayoritas etnis Cina seperti Taiwan, Cina dan Singapura, rusak. Belum lagi tuduhan pelanggaran hak asasi manusia yang bisa menimbulkan respon global.

"Nanti, kalau kamu sudah punya gelar, baru kamu boleh minta pulang. Paling tidak keberadaanmu di Amerika menghasilkan sesuatu. Atau kalau kamu menikah dan kembali ke Indonesia, Papa tidak melarang. Sebab keselamatanmu akan jadi tanggung jawab suamimu. Terus terang, Papa tidak sanggup menjamin keamananmu di sini. Papa sudah tua."

Debat kembali dimenangkan oleh Papa, dan dengan patuh Denise mengemasi kopernya untuk kembali ke Vegas.


Hati Denise hampa. Ia tahu jawaban Papa sudah final. Ia tidak akan diperbolehkan pulang sampai lulus universitas, paling cepat, empat tahun lagi! Ia tidak tahu bagaimana caranya bertahan sampai waktu itu nanti. Denise memandang tanah yang diinjaknya. Begitu matahari turun dari singgasananya, angin dingin musim semi langsung berkuasa. Tanah pekarangan rumah O O terasa dingin dan keras di kakinya, tidak seperti tanah di Jakarta, lunak, enak dijejak. Tapi di sinilah ia. Stuck.

Ci Felice memarahinya karena terlalu banyak mengeluh."Kalau boring ya cari saja Ko Edward, ngobrol kek, chatting kek, 'Kan kamu sendiri yang bilang kalau ngobrol sama dia seru?!"

Denise mendesah. Setiap pulang berlibur dari Indonesia ia selalu merasa homesick, dan butuh waktu untuk penyesuaian kembali. Di Indonesia ia dikelilingi teman, dimanja Papa dan Mama, mau makanan apa pun ada. Tapi di Vegas, bahkan Ci Felice pun tidak memberikan kehangatan keluarga. Ko Edward memang sudah ada dalam benaknya untuk beberapa saat. Bahkan sejak ia masih di Indonesia. Ia rindu percakapan-percakapan berbobot dengan Ko Edward, debat-debat konyol mengenai lebih enak mana, roti pisang coklat atau pisang keju, atau sesi-sesi review film yang baru mereka tonton sambil makan hot dog

Jadi ceritanya, kapan hari saya ke salon, terus pas mau baca-baca majalah, ketemu majalah edisi khusus dari Women's Weekly. Majalah wanita no 1 di Australia yang sudah ada sejak tahun 1933. Dalam edisi khusus ini diangkatlah artikel2 dari edisi sebelumnya. Dan hihihihii..lucu-lucu kalau dibaca sekarang. Contohnya ini satu pertanyaan rubrik konsultasi cinta: 

Kalau cewe nulis surat ke cowok, sebaiknya pakai kertas polos atau bergaris??

Mwahahahaha~~ polos banget ya cewe2 jaman nenek kita

Mwahahahaha~~ polos banget ya cewe2 jaman nenek kita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-----

Gambar cewek2 ngobrol di WC diambil dari https://t3.ftcdn.net/jpg/01/13/20/86/240_F_113208635_ZnL1Tkc5GWMjFXaTsOBkYLRUf6ZqJjFj.jpg

Gambar batik cheong sam diambil dari https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/736x/23/d5/4b/23d54b39e41ab8a92528e413ab1445ec.jpg

Gambar majalah dari koleksi pribadi

Di Mana NegerikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang