Hujan Batu

482 57 9
                                    

"Sun," suara Papa membuyarkan lamunannya, "kamu beruntung lahir tidak kekurangan. Masa kecil Papa dulu miskin. Mau sekolah pun susah." 

Denise menatap Papa dalam-dalam, mencoba menebak arah pembicaraannya.

"Nanti di Amerika, kamu harus belajar baik-baik. Sudah lulus, cari kerja yang bagus. Bangunlah kehidupanmu di sana. Kamu beruntung ada Papa yang bisa memberikan fondasi yang baik untuk kamu. Perusahaan tidak selamanya bisa bertahan. Suatu saat Papa tidak bisa melindungi kamu lagi. Kamu harus bisa mengurus diri kamu sendiri di negeri orang."

"Papa benar-benar mau Sun pindah ke Amerika?"

"Ya. Papa rasa ini adalah masa depan terbaik yang bisa Papa berikan untuk kamu. Indonesia sedang bergejolak. Entah sampai kapan ini akan berlangsung. Sepintas kerusuhan selesai, ekonomi membaik. Tapi itu hanya di permukaan saja. Kamu lihat sendiri perusahaan Papa. Kamu pikir kenapa supplier kita bangkrut? Itu karena dia juga tidak sanggup memenuhi permintaan buruhnya untuk naik gaji. Dia itu teman Papa sejak lama. Sejak perusahaan koper kita berdiri.

"Bukan dia saja. Setiap Papa kumpul-kumpul dengan teman, semua mengeluh bisnisnya menurun. Masalahnya kebanyakan sama. Ketidaksepahaman dengan buruh. Usaha Papa masih lebih baik, kita banyak menggunakan mesin. Kamu tahu Om Tjoa?" Denise mengangguk. Wajah teman Papa dengan kumis tebal dan rambut tipis muncul di benaknya.

"Dia juga sudah gulung tikar. Dia usaha sepatu, banyak sekali menggunakan tenaga manusia. Dia yang paling dulu bangkrut di antara teman-teman Papa."

"Mereka juga minta naik gaji?"

"Ya, semua sama. Semua pikir karena sekarang Suharto sudah terguling, dan ini era reformasi, mestinya keadaan berubah drastis. Mereka mau tiba-tiba kaya. Itu 'kan tidak realistis. Ekonomi dunia sedang menurun.

"Parahnya, buruh mudah diperalat untuk tujuan politik. Mereka itu jumlahnya banyak. Miskin, dan mudah termakan janji. Pendidikan tidak terlalu tinggi dan emosinya mudah terbakar. Politikus berlomba-lomba mengumbar janji kenaikan upah buruh. Mereka pun terpilih jadi wakil rakyat dan duduk di posisi yang mereka incar, karena suara buruh itu banyak. Banyak sekali.

"Mereka tidak memikirkan kita, para pengusaha. Kalau keadaan ini berlangsung terus menerus, semakin banyak perusahaan yang akan bangkrut. Satu bangkrut, yang lain juga ikut terbawa-bawa. Papa saja sudah merugi gara-gara supplier roda bangkrut. Bayangkan kalau supplier-supplier lain juga bangkrut. Bisa-bisa harga koper kita naik dua kali lipat. Kalau sudah begitu, siapa yang mau beli?!

"Buruf, staff, semua orang yang bekerja untuk kita itu tidak ubahnya dengan anggota tubuh. Manajer adalah kepalanya, otaknya. Tubuh manusia baru bisa berfungsi dengan baik kalau semua anggota tubuhnya menurut pada perintah otak. Kalau tidak, kaki tidak mau jalan ke depan, tangan tidak mau bekerja, ya tidak bisa apa-apa."

Denise mendesah, "Seperti sekarang."

Papa mengiyakan, "Seperti sekarang."

Papa masih menenggak dua botol bir lagi setelah itu. Ia pulang dengan mata dan muka yang merah. Jalannya terhuyung-huyung. Beberapa pasang mata melihat Denise dengan pandangan menghina. Tentu orang-orang berprasangka buruk. Seorang gadis muda berjalan menggandeng Om-om yang mabuk keluar dari dalam hotel.

Tapi ia tidak melepaskan rangkulannya. Belum pernah ia melihat Papa seputus asa ini. Selama ini Papa adalah batu karangnya yang kokoh. Ia merasa dirinya ikut hancur melihat Papa, tempatnya bersandar, remuk berkeping-keping.

Pedih.

Alkohol menidurkan Papa sampai keesokan paginya. Mama menyambut mereka berdua dengan khawatir. Sepanjang dua puluh tahun pernikahan mereka, baru pertama kali Mama melihat Papa pulang dalam keadaan yang mengenaskan seperti ini.

Di Mana NegerikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang