Arjuna

617 60 8
                                    

"Tenang. Itu paling cuma nakut-nakutin aja. Supaya kita mau keluar duit. Dasar oportunis! Sama saja seperti di Indo, segala sesuatu dijadikan bisnis." Kata Panjul.

Hati Denise menciut. Tapi ia tidak mau menyerah. Ia sudah melalui begitu banyak rintangan sampai ke tempat ini, dia pasti bisa!

"OK, kita jalan." 

Komando Panjul membuat mereka beranjak. Kedua pemuda lokal itu mengantar mereka dengan pandangan kosong.

Medan yang mereka telusuri menjadi lebih sempit. Panjul dan Martin sudah tidak berjoget-joget lagi. Mereka maju perlahan-lahan, memastikan ada tanah yang kokoh untuk diinjak. Matahari merangkak ke atas, membutakan. Denise berusaha keras untuk tidak melihat tebing-tebing terjal di kanan kirinya. Ingin rasanya ia kembali dan membayar sepuluh yuan. Harga yang sangat murah untuk nyawanya. Tapi sudah terlambat. Di belakangnya masih ada enam orang, masing-masing bak pemain sirkus yang meniti tali jemuran.

Yang paling mengganggunya adalah kesunyian. Seumur hidupnya Denise tinggal di kota. Klakson mobil dan desingan barang-barang elektronik membuatnya merasa at home. Kicauan burung dan gemerisik daun sesekali menghampirinya. Namun kesunyian? Ia tidak terbiasa dengan kesunyian. Bunyi nafas teman-temannya bahkan tidak terdengar. Mereka terlalu jauh, saling menjaga jarak supaya tidak tersenggol dan jatuh. Komando Panjul dan suitan Martin sudah lama berhenti. Sunyi. Yang didengarnya hanya suara jurang, memanggil-manggil, menghasut. Ia berusaha untuk tidak mengacuhkannya. Tapi ia kerap mendengar bunyi kerikil yang terlindas sepatunya. Seperti biji merica yang dilindas cobek, kemudian, sunyi.

"Kenapa berhenti di sini?" Denise menyusul Bram, Vina dan Eva berhenti di depannya.

"Tembok yang satu ini agak bahaya. Kami sedang berpikir untuk memutar saja."

"Memutar? Lewat mana?"

"Tuh." Bram menunjuk ke jalan kecil, undakan kiri yang menjadi landasan tembok di depannya.

"Iya, kita nungguin kamu. Kali-kali kamu mau ikut." Jelas Vina. Denise melihat jauh ke depan. Panjul dan Julian masih berkutat dengan jalur mereka yang sempit. Mereka memilih lurus, berjalan di atas tembok. Rambut Panjul jatuh ke depan karena ia terus menunduk. Tampaknya ia tidak sadar kalau anak buahnya mau membelot. Tidak lama kemudian James dan yang lain sampai.

"Ah, aku ikut kamu Bram. Panjul dan Martin gila. Kalau tahu medannya separah ini aku pasti nggak ikut! Terlalu bahaya!" gerutu Emil.

"Iya betul, keterlaluan." James ikut-ikutan.

"Ya sudah, yuk, jalan." Bram langsung memimpin di depan. Denise tertegun. Teman-temannya terpecah.

"Nis, ngapain bengong? Jalan yuk." Ajak Vina. Denise melihat ke arah Panjul dan Martin. Mereka berjalan dengan gagah di atas tembok dengan latar belakang langit yang biru. Ia pun bimbang. Menyerah dan mengambil jalan yang aman, atau meneruskan di jalur semula, seperti rencana semula?

"Denise, ayo, sini saja! Jalan di depanku. Aku di belakang." James membuyarkan lamunannya. Ia melihat James, kemudian punggung Panjul, kemudian James lagi.

"Lihat, mereka yang sudah sering ke sini saja masih kewalahan. Jalan begitu pelan. Sini, sama kita saja!" Kita. Denise geli mendengarnya. James, yang sejak awal diabaikan, tiba-tiba merasa dirinya menjadi bagian dari grup yang terpecah. Mungkin ia merasa di atas angin karena orang-orang meninggalkan Panjul yang sudah mengolok-oloknya.

"Ayo, cepat, aku jaga dari belakang." 

Dijagai James? Wah..terima kasih deh!

"Nggak, aku ikut Panjul." Dengan berani Denise menapakkan kakinya ke atas batu-batuan yang sudah rapuh.

Di Mana NegerikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang