Koper Prime

2.2K 110 18
                                    



"Nanti jam setengah sepuluh Bapak jemput lagi ya." Denise dan Dinda melambai dan mobil ayah Dinda menjauh. Begitu berbalik, Denise menemukan dirinya terdampar di negeri antah berantah. Pilar-pilar kokoh menyangga kastil bertingkat dua dengan angkuhnya. Lampu-lampu taman yang rendah dan mungil dinyalakan semua, membatasi rumput yang terpotong rapi dengan jalanan berbatu untuk jalur mobil. Jendela-jendela raksasa dibuka lebar-lebar, memamerkan pesta kaum atas yang sedang berlangsung di dalamnya. Suara tawa dan percakapan berbaur dengan musik yang jazzy.

Sebuah grand piano berdiri di atas rumput. Di sampingnya, seorang pemain saxophone berdiri di samping seorang cellist. Musik yang mereka mainkan begitu pas dengan suasana. Lembut sehingga tidak mengganggu senda gurau para tamu, namun sesekali menukik tajam dan meliuk-liuk, minta diperhatikan.

"Hi Denise." Karen menyentuh bahunya dari belakang.

"Oh, hi !"

"Rita dan Novi?" Dinda tidak menemukan mereka dengan matanya.

"Mereka ada di atas. Di kamarku."

"Mas !" Karen melambaikan tangannya ke seorang pelayan berdasi kupu-kupu. Gayanya begitu angkuh dan tidak canggung sama sekali. Sangat cocok dengan hidungnya yang menjulang dan matanya yang besar dan tajam. Karen mengenakan gaun biru muda selutut dari satin. Rambutnya, tampak jelas ditata di salon. Ikal-ikalnya memutar dengan sempurna, terguncang-guncang seperti yoyo setiap kali Karen menggerakkan kepalanya. Berlian sebesar beras berkilat-kilat di kedua telinganya.

"Terima kasih." Denise mengangguk kecil setelah mengambil gelas berisi Cola dari nampan yang dipegang Mas pelayan.

"Ke kamarku aja yuk?" Denise membelalakkan matanya dan mengangguk dengan antusias. Ia tidak sabar ingin melihat isi kamar gadis blaster yang kaya raya.

"Eh, tapi...kita belum kasih selamat sama kakak kamu." Dinda menahan mereka.

"Oh.." Tiba-tiba saja Denise teringat akan tujuan mereka datang ke sana. Ia malu. Kemewahan di depan matanya telah membuatnya lupa sopan santun. Mereka membuntuti Karen menerobos kerumunan tamu. Acara makan sudah dimulai dan para tamu membentuk kelompok-kelompok kecil di sana-sini. Bertukar cerita sambil menyantap hidangan.

"Oh, hi ! Thanks for coming." Stella memandang teman-teman Denise dengan matanya yang berbinar-binar. Rambutnya disanggul ke atas, membuat lehernya yang jenjang terlihat semakin panjang.

"Karen, Auntie Ashley cari kamu dari tadi." Stella berpaling ke arah Karen.

"Oh.., tell her that I'm in my room with friends." Jawabnya tak acuh.

"Karen...." Wajah Stella yang ramah berubah menuduh, "Auntie datang jauh-jauh dan kamu tidak mau menyapanya?"

"Ya, ya, ya, I will ! But not now."

"Yuk, ke kamarku." Tangan Karen menarik Denise dan Dinda. Mereka menurut saja ketika Karen membawa mereka ke lantai dua. Hak sepatu Karen mengetuk-ngetuk lantai marmer, membuka jalan untuk mereka berdua. Sekilas Denise memandang ke bawah sambil menaiki tangga. Hampir separuh tamu malam itu adalah orang Barat. Tentunya mereka adalah saudara dari pihak ayah Karen. Mungkin juga teman-teman ayah Karen, sesama ekspat dengan keluarganya. Selebihnya adalah orang Indonesia. Keluarga dari pihak ibu Karen, yang juga orang Jawa seperti keluarga Dinda. Beberapa wanita mengenakan kebaya yang gemerlapan.

Sebuah ruang keluarga menanti mereka di ujung tangga. Berbeda dengan perabot di lantai satu, kursi dan meja di lantai dua terlihat lebih cozy. Satu set sofa besar yang bisa berubah menjadi tempat tidur tamu menjajah sebagian besar ruang itu. Sebuah televisi yang sangat besar berada di tengah-tengah sekumpulan barang elektronik lainnya. Beberapa buah speaker, laser disc player, video player, stereo set dan lemari kaca berisi buku-buku tebal. Karpet coklat muda dengan motif fleur de lys. Sebuah rak pajangan memamerkan beberapa piala dan patung-patung pemain golf. Ada pula foto-foto keluarga yang tersebar di ruangan itu, baik dalam pigura duduk maupun bingkai yang dipajang di dinding.

Di Mana NegerikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang