Bocah Ingusan

408 39 10
                                    



Mei Fang

Aku tidak pernah bisa mengerti jalan pikiran anak jaman sekarang. Atau mungkin aku sudah terlalu tua? Apa justru aku yang aneh? Bagaimana mungkin Sun-sun bisa memutuskan untuk pulang ke Indonesia, hanya karena seorang pemuda?

Dulu, perempuan diajar untuk menjaga martabat. Kami menutup mulut kalau tertawa, berjalan dengan mata lurus ke depan, bicara seperlunya dengan laki-laki, itu pun, hanya dengan yang benar-benar kami kenal baik. Sekarang? Sun-sun mau mengejar laki-laki dan meninggalkan sekolah?

Benar-benar tidak tahu diuntung! Dulu, punya gelar sarjana adalah satu loncatan nasib, jalan pintas menuju kemakmuran. Tidak banyak yang sanggup membayar uang kuliah. Mahasiswa diperebutkan perusahaan sebelum lulus. Sekarang, semua orang punya gelar. Sarjana berlimpah di Indonesia seperti limbah, dihasilkan terus tanpa ada penampungan. Banyak yang harus puas dengan pekerjaan yang tidak menggunakan otak. Gaji pegawai pemula pun terlalu murah. Delapan ratus ribu, untuk seorang pegawai bank? Tiga juta untuk manajer? Gila! Padahal uang pangkal Taman Kanak-kanak saja bisa mencapai tiga juta rupiah.

Sun-sun beruntung. Ia punya kami yang sanggup menyekolahkannya ke luar negeri. Kelak, ia bisa mencari kerja di perusahaan internasional di Amerika, dikirim tugas ke Eropa, atau kalau pun ia pulang ke Indonesia, gelarnya cukup untuk memberi start yang bagus di Jakarta.

Tapi tiba-tiba saja Sun-sun mau mencampakkan semuanya itu, dan pulang ke Indonesia demi Edward? Apa hasilnya selama ini ia di Amerika? Apa yang bisa dibanggakannya kalau pulang? Lulus sekolah pun tidak!

Memang, aku selalu menasehati anak-anakku, sebagai perempuan, kita harus ingat, sepandai-pandainya kita belajar, kelak kita harus masuk ke dapur juga. Tugas kita sebagai seorang istri adalah mendukung suami. Tapi nasehatku itu diputarbalikkan seenaknya. "Ko Edward itu calon suami ideal, bukankah Mama selalu bilang, perempuan harus menyesuaikan diri dengan ambisi suami? Berkembang di mana dia menancapkan akarnya?"

Ya ampuuunnnn!!! Memang umurnya berapa? Kepala dua saja belum! Si Edward itu baru dua puluh tiga! Bocah ingusan! Mungkin kalau di jamanku mereka sudah dianggap siap nikah, tapi sekarang, bisa-bisa disangka hamil oleh tetangga! Katanya lagi, "Bukankah Papa pernah bilang, kalau Papa akan mengijinkanku pulang setelah aku punya gelar, supaya perantauanku tidak sia-sia, atau kalau aku menikah, sehingga keamananku di Indonesia tidak jadi tanggungan Papa lagi? Aku sedang menuju ke sana! Kalau sekarang aku dan Ko Edward dipisah, kemungkinan kami menikah jadi lebih kecil, bukan?" Ck, ck, ck...tidak mau kalah, ia lanjutkan, "Bukankah Mama pernah bilang, Ko Edward ini orangnya lumayan? Dia itu lulusan Amerika, Papanya punya bisnis hotel, berjiwa kepemimpinan, disukai banyak orang, dan yang lebih penting lagi, sudah ada pekerjaan bergengsi yang menunggunya di Jakarta. Apa yang kurang, Ma?"

Yang kurang? Tentu saja akal sehat! Memangnya kalau Sun-sun ikut Edward pulang, ada jaminan kalau mereka akan menikah? Yang sudah bertunangan saja bisa putus! Kalau sampai mereka putus, apa yang tersisa untuknya? Pendidikan yang terputus, green card yang tersia-sia. Ah...lagipula, belum tentu keluarga Edward mau berbesan dengan kami. Keluarga kaya seperti itu, pasti ingin anaknya menikah dengan orang yang sama kayanya.

Yunus dan aku, tidak habis-habisnya membicarakan masalah ini. Melihat ke belakang, mencari-cari di mana kesalahan kami, sehingga Sun-sun tumbuh jadi gadis yang berpikiran pendek, yang mengejar laki-laki. Hahh...

Felice Deng

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Felice Deng

Tiga bulan setelah Ko Edward meninggalkan Amerika, Sun-sun akhirnya mendapatkan apa yang diinginkannya. Dua bulan yang penuh ketidakpastian, tangisan di malam hari, email-email dari Papa yang putus asa, telpon dari Mama yang penuh dengan amarah, kami semua tidak bisa menghentikan Sun-sun. Well, memang tidak pernah ada yang bisa menghentikan Sun-sun. Mungkin karena ia anak bungsu, kami tidak sengaja memanjakannya dan membuatnya jadi keras kepala? Entahlah. Sejak dulu memang dia yang selalu berbuat yang aneh-aneh. Mengeluarkan tabungan dan membeli jam-jam bermerek lah, pacaran dengan cowok yang umurnya sudah 30 tahun lah, jadi saksi pernikahan ilegal lah...terus terang, walaupun sedih, ada rasa lega sewaktu aku melepasnya di airport.

Sun-sun uring-uringan sejak Ko Edward meninggalkan Amerika. Memang Ko Edward masih sering menghubunginya lewat YM atau e-mail. Tapi percakapan di telpon berkurang drastis. "Tidak ada yang memperhatikanku!" keluhnya. Padahal, dia selalu punya aku yang menjaganya dari berbuat hal-hal bodoh, O O yang memasak makanan untuknya setiap hari, Novi yang selalu bersedia jadi teman curhat-nya. Tapi kami semua tidak dianggap. Seakan di dunianya hanya ada Ko Edward seorang.

Dan terjadilah kecelakaan itu.

Somehow I knew it was coming.

Sun-sun baru saja mendapat driving license-nya, setelah tiga kali gagal tes. Aku pikir, justru setelah sekian kali gagal, ia jadi lebih hati-hati dan cermat. Ternyata tidak juga. Ia tidak mengaku pada Papa dan Mama, hanya aku. Ada seorang pemuda yang begitu mirip dengan Ko Edward di pinggir jalan dan konsentrasi Sun-sun langsung buyar. Detik berikutnya ia menggilas sesuatu dan membanting setir, menabrak pohon. Untung saja ia sedang tidak mengemudi dengan kecepatan tinggi, dan yang ia lindas hanya seonggok sampah. Kap mesin mobil rusak dan setengah terbuka, kaca depannya retak. Jantungku berhenti ketika menemuinya. Ia duduk di trotoar, menangis. Wajahnya tergores, darah kering mengeras pada pipinya.

Sejak itu aku membujuk Papa untuk menerimanya kembali di Jakarta. Aku tidak mau bertanggung jawab kalau hal yang lebih buruk sampai terjadi.

Hai teman-teman, apa rencana temans wiken ini? Saya mau lunch bareng temen2 saya yang OMG..acara ini sudah direncanakan 8 bulan yang lalu dan gak jadi-jadi. Ada aja yang menghalang, ada yang lagi di luar negeri pulang kampung, ada yang melahirkan, ada yang puasa, ada yang lupa..hahaha...akhirnya jadi juga hari ini. Tapi saya rasa, itulah indahnya friendship, dan semua relationship lain juga...saling meng-akomodasi kepentingan satu sama lain, dan butuh waktu untuk make it work.

saling meng-akomodasi kepentingan satu sama lain, dan butuh waktu untuk make it work

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

---

Gambar gadis merenung diambil dari https://novakdjokovicfoundation.org/wp-content/uploads/2014/12/teen-girl-depressed.jpg

Gambar ibu yang stress diambil dari http://media.namx.org/images/editorial/2012/01/0117/v_white_depression/v_white_depression_500x279.jpg

Gambar girls having lunch diambil dari http://www.taza.co/wp-content/uploads/2015/09/LUNCH.jpg

Di Mana NegerikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang