Mama baru berusia lima belas tahun ketika sekolah-sekolah Cina ditutup. Di rumah, keluarga mama menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi. Orang tua Mama besar di Cirebon, mereka bahkan lebih fasih menggunakan bahasa Jawa kasar daripada bahasa Cina. Satu-satunya sumber pendidikan bahasa Cina untuk Mama dilenyapkan negara dan akhirnya bahasa Cina Mama hanya separuh jadi.
Mungkin, orang Indonesia menganggap semua orang Cina sama saja, bermata sipit dan suka makan babi. Tapi dalam komunitas Cina di Indonesia yang kabarnya hanya sekitar 3% dari seluruh populasi Indonesia itu pun ada pembagian kasta yang jelas. Orang-orang Cina yang sudah tidak lagi bisa berbahasa Cina, dilecehkan dalam komunitasnya sendiri. Dianggap sudah menyatu dengan orang-orang pribumi dan tidak lagi menjunjung tinggi adat dan kebudayaan leluhur.
Orang Cina di Indonesia hidup berasimilasi dengan baik bersama orang Indonesia pribumi. Mereka bisa pergi bersekolah bersama, kerja bersama dan jadi sobat karib. Tapi kalau sudah menyangkut pernikahan, kehormatan keluarga dan leluhur turun temurun dipertaruhkan. Sebisa mungkin menikah dengan 'orang kita' , bukan Hua Na, pribumi. Mama, yang sudah tidak mengerti dialek Cina daerah lagi, termasuk dalam golongan ini, kabarnya sempat ada ribut-ribut kecil di keluarga Papa karena tidak mau menerima Mama yang kastanya rendah.
"O O dengar kamu sudah punya pacar ?" Denise hampir tersedak. Tiba-tiba saja O O A Mei bertanya padanya dengan suara keras. Pasti Papa yang sok tahu itu mengumbar cerita tentang dirinya ke mana-mana. Huh! Diliriknya Papa yang ada di ujung meja dengan muka sebal.
"What ? Memang benar 'kan ?! " Papa membuka kedua tangannya dan mengangkat bahu. Denise bertekad akan memberi Papa pelajaran nanti.
"Iya sih..tapi baru dua bulan kok."
"Seharusnya kamu bawa dia ke mari, O O mau lihat." O O A Mei menepuk bahunya dengan antusias. Denise hanya meringis menjawabnya. Kalau bukan karena Papa yang suka bermulut besar, sebenarnya ia tidak ingin ini diketahui orang banyak. Setiap kali nama Ferry disebut ia merasa hati nuraninya terganggu.
"Wah...kecil-kecil sudah punya pacar! Jangan lupa belajar ya...A Mah dulu setengah mati mau sekolah, tapi Kong Co-mu tidak kasih. Sampai sekarang A Mah tidak puas" Denise melihat kesempatan untuk membelokkan percakapan.
"Lho, kenapa A Mah?"
"Kong Co itu pikirannya kolot, dia bilang anak perempuan tidak perlu sekolah, cukup belajar masak dan kawin. "
"Kalau dulu boleh sekolah terus, A Mah mau belajar apa?"
"A Mah mau jadi dokter. Bisa tolong orang sakit."
Tawa Papa meledak,"Huauahahaha...kalau A Mah-mu ini jadi dokter, pemerintah nggak perlu repot-repot bikin program KB.....pasiennya MATI SEMUAAA !!" Semua terbahak-bahak mendengarnya. A Mah mengejar Papa dan memukulnya dengan koran.
"Kamu tahu, sebelum kenal sama A Kong, ada cowok yang naksir A Mah." A Mah duduk merengut setelah tidak berhasil mengejar Papa.
"O Ya? Siapa?"tanya Denise antusias.
A Mah diam dan matanya menerawang.
"Nggak tahu."
"HAH ?!" Suara tawa bergemuruh memenuhi ruangan.
"A Mah cuma berhalusinasi." A Bun Cek berkedip-kedip pada Denise sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Kali ini A Bun Cek yang jadi sasaran tepukan koran maut.
"Heh...A Mah bukan mimpi ! Itu bener ! Ada anak laki-laki yang taruh surat cinta di laci meja sekolah A Mah ! Tapi dia tidak tulis nama!"
"Itu pasti salah taruh !" A Pek berdiri dari tempat duduknya dan mengacungkan telunjuknya tinggi-tinggi."
"Terus ?" tanya Denise masih sambil terengah-engah mengejar nafas dan memegangi perut.
"A Mah marah, A Mah gebrak meja dan teriak, 'Siapa ini yang taruh surat ?' A Mah datang ke rumah sekolah untuk belajar! Bukan pacaran!"
"Wah !" Denise tertawa makin besar. Siapa pun pasti takut akan reaksi A Mah saat itu.
"A Mah tunggu-tunggu, tidak ada yang mengaku sampai A Mah lulus."
Sekarang Denise tahu dari mana ia memperoleh keberanian untuk melempar Ferry dengan kotak pensil.
"A Mah dulu kenal A Kong di sekolah ?" Denise menyetir pembicaraan itu semakin jauh untuk memastikan topik pembicaraan tidak kembali lagi pada dirinya.
"Bukan, A Kong itu rumahnya dekat dengan A Mah." Denise agak menyesal ketika cerita A Mah berlarut-larut panjang, tentang orang tua A Kong yang tidak mau ia menikah dengan A Mah karena mereka sudah punya calon dari keluarga kaya.
"Mertua A Mah sampai pukul-pukul dada dan nangis. Setengah mati dia mau A Kong menikah sama orang lain. Tapi A Kong juga setengah mati mau sama A Mah. Hahahahaha !" Tawa A Mah meledak, menghangatkan suasana.
"A Mah cinta sama A Kong?"
"Cinta?! Kalau sudah hidup sama-sama sampai lima puluh tahun. Kamu tidak tahu lagi apa namanya cinta! Hahaha !"
"Nih, Mama bilangin, jadi cewek jangan pusing mikirin cinta, yang penting suami kita yang cinta sama kita." Mama pun ikut nimbrung. Denise hanya tersenyum saja, tidak berkomentar. Kalau begitu, tentu dia ada di jalur yang benar.
Ia tidak perlu mencintai Ferry.
Gambar Secret Admirer diambil dari http://2.bp.blogspot.com/-JdMmEONZHmg/UVLQn6vE69I/AAAAAAAADa0/KF04jfNRaok/s1600/secret.jpg
Gambar foto tua diambil dari http://1.bp.blogspot.com/_uibrwX9T97M/SZ7MXYKjZWI/AAAAAAAACC8/Gl6ndKfK7rY/s400/z++20+Feb.+09++Rahasia+Hidup+Titin+Sumarni+th.1955++07++res.200.jpg
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Mana Negeriku
Ficção HistóricaHi Guyz, Does my name ring a bell? Hopefully yaaa.. Saya penulis Omiyage, Sakura Wonder, Only Hope dan Wander Woman. Ini pertama kalinya saya posting naskah di Wattpad. Berbeda dengan novel yang begitu diterbitkan lepas hubungan, di Wattpad, saya te...