Tok, pletak.
"Ayo, kita ke lantai dua saja. Di sana lebih aman! Bawa semua barang-barang pribadi!"
Semua langsung membereskan tas masing-masing dan mengikuti Mas Hanif yang sudah lari ke lantai dua. Denise berlari sambil membungkuk. Ia menggunakan tasnya untuk melindungi kepala. Pikirannya tertuju pada Papa. Kalau di dalam gedung saja keadaannya sudah separah ini, bagaimana Papa yang ada di luar?
Mas Hanif benar, di lantai dua lebih aman. Gedung kantor terpisah dari kompleks pabrik dengan pagar tanaman setinggi bahu orang dewasa. Batu-batu yang dilontarkan dari seberang hanya sanggup mencapai jendela lantai satu. Tapi rasa takut dan panik juga menyerang para staff di atas. Mas Hanif dan Ko Edward berdiri di pinggir jendela, mengintip ke luar. Om A Seng, yang sudah berumur, hanya terpaku di mejanya.
Tok, tok, pletak, pletuk. Suara batu yang menghantam gedung terdengar ramai dari dalam. Ini benar-benar hujan batu!
"Denise, Papa kamu di mana?" Tanya Ci Lisya. Ci Lisya adalah staff lantai dua, dia tidak tahu kalau Papa sudah pergi menantang bahaya.
"Papa...papa di luar." Tangisnya pun meledak.
Pletak, pletuk. Denise semakin takut. Bagaimana kalau kepala Papa bocor terhujam batu?
"Papa di luar..huaa..." Denise meraung. Tubuhnya gemetar. Ia pernah mengalami ini, beberapa tahun yang lalu, ketika terperangkap di aula sekolah sampai malam. Dulu ia memang sempat mendengar suara tembakan dan sirene mobil polisi. Tapi jaraknya masih agak jauh. Sekarang, batu-batu itu bergelinding begitu dekat ke arahnya. Ratusan buruh yang mengamuk sebentar lagi akan masuk ke dalam kantor, dan entah apa yang akan terjadi pada mereka. Tubuhnya bergetar hebat.
"Shh..shh.., Denise..tenang," Ci Lisya mengusap-usap punggungnya, "Papa kamu keluar karena ia mau menenangkan buruh. Sebentar lagi juga keadaan kembali seperti semula."
Denise menangguk masih sambil menangis. Ia ingin percaya kata-kata Ci Lisya.
"Gila! Di luar gawat sekali!" Mas Karmin, office boy, berlari-lari dari lantai bawah dan bergabung dengan mereka.
"Min! Dari mana kamu?"
"Saya dari pabrik. Tadi disuruh menaruh barang di gudang. Waktu saya mau masuk ke kantor lagi, tiba-tiba saja buruh-buruh itu marah dan melempari batu. Punggung saya sampai kena."
"Pintunya sudah kamu tutup, Min?"
"Sudah. Sudah saya kunci."
"Dikunci? Tapi Papa di luar!" Denise berteriak.
"Tenang, Denise. Papa kamu punya kuncinya."
Denise tidak yakin Papa membawa kunci pintu waktu ia keluar dengan terburu-buru tadi.
"Ah..seandainya Mas Eko masih ada, pasti keadaannya tidak sampai separah ini. Dia paling bisa mengambil hati buruh." Desah Mbak Arti.
"Si Eko?! Yang benar saja kamu! Eko itu pencuri tahu!" Tukas Mbak Mulyani. Denise masih tersedu-sedu di samping Ci Lisya. Keadaan mereka benar-benar menyedihkan. Terkurung di dalam kantor dan terperangkap dalam pengharapan yang digantungkan pada seorang pencuri. Semua orang tahu Mbak Arti benar. Mas Eko merupakan buffer yang sangat efektif selama ini. Buruh selalu mendengar perkataan Mas Eko. Perusahaan benar-benar kehilangan asset yang sangat berharga.
"Jadi sekarang kita mesti bagaimana?" tanya Ci Lisya.
"Telpon Ko A Tiam. Jangan-jangan dia belum tahu." Cetus Mbak Mulyani. Ia pun langsung menyambar telepon terdekat dan menelepon A Pek. Secercah harapan menerangi hati Denise. Perusahaan selalu dijalankan oleh Papa dan A Pek berdua. Untunglah A Pek sedang di luar. Mungkin A Pek bisa memperbaiki keadaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Mana Negeriku
Historical FictionHi Guyz, Does my name ring a bell? Hopefully yaaa.. Saya penulis Omiyage, Sakura Wonder, Only Hope dan Wander Woman. Ini pertama kalinya saya posting naskah di Wattpad. Berbeda dengan novel yang begitu diterbitkan lepas hubungan, di Wattpad, saya te...