Gegar Budaya

658 62 5
                                    


Culture shock pertama dialaminya ketika sedang berada dalam pesawat. Pramugari dan pramugaranya agak berumur, dan...ehm...kok penampilannya kurang menarik, ya? Selama ini, Denise berpikir kalau cabin attendant selalu langsing, manis, dan bikin minder. Berapa jam pun penerbangan yang ditempuh, tetap saja muka mereka segar dengan rambut yang senantiasa tergelung rapi. Lipstick-nya tidak pernah luntur. Tapi, pramugari-pramugari yang sekarang lalu lalang melewati tempatnya duduk sangat berbeda. Ada yang gemuk, ada yang kelihatan ubannya, dan raut mukanya galak-galak.

Kabin pesawat sangat berisik. Semua penumpang yang sebagian besar orang Cina berteriak kalau berbicara. Seorang ibu yang duduk di seberang mereka terlelap tidur dengan kepala mendongak dan mulut terbuka lebar. Dari seberang pun Denise dapat melihat gigi gerahamnya yang berwarna emas. Di depannya, tray makanan yang menunggu diangkat tampak berantakan sekali. Tissue kotor tergulung asal-asalan, garpu masih tertusuk ke daging, gelas plastik yang terguling menumpahkan air sisa ke atas kotak makan dan menggenangi nasi yang hanya dimakan separuh. Di sampingnya, seorang bocah lelaki bersandar di lengan ibunya sambil memegang sedotan. Begitu porak poranda. Seakan mereka berdua tiba-tiba pingsan di tengah-tengah menyantap makanan.

"Kok berisik amat ya, Pa?"

"Memang begitu...orang Cina kalau ngomong seperti berkelahi." 

Suasana dalam pesawat tidak jauh berbeda dengan pasar.

"Xiao jie, xiao jie, masih ada kacangnya?" Seorang bapak memanggil pramugari yang kebetulan lewat. Sembilan bulan di Guang Ming tidak sia-sia. Biarpun Denise selalu tidur di kelas, telinganya bisa menangkap percakapan sederhana. Bapak itu minta tambahan cemilan kacang yang tadi dibagikan. Seorang ibu paruh baya yang duduk di sebelahnya dan dua tangan lagi terangkat, dengan ribut minta bagiannya masing-masing.

"OK, OK, deng yi xia. Tunggu sebentar." Pramugari itu menghilang dan tidak lama kemudian kembali dengan satu kantung besar yang berisi selusin kantung kecil kacang. Bapak itu dan teman-temannya berteriak senang. Denise menggeleng-gelengkan kepalanya dan tertawa, "Seperti anak kecil saja."

"Hush...orang Cina memang begitu, ekspresif!!" Ujar Papa.

Denise tertawa sambil mengernyit.

Orang Cina di Cina, ternyata memang sangat ekspresif! Dalam beberapa bulan, ia sudah melihat banyak pemandangan ajaib. Denise yakin ia tidak akan pernah kaget lagi melihat apapun di dunia. Pertama waktu ia diajak mengunjungi toko buku. Toko buku terbesar di Beijing menurut Julia, teman sekelasnya dari Surabaya. Matanya hampir keluar ketika ia masuk ke WC. WC itu tidak ubahnya seperti WC umum biasa. Ada wastafel berderet dengan kaca besar dan WC jongkok berbaris lima buah. Satu-satunya perbedaan, dan kebetulan, teramat fatal, ialah, tidak adanya daun pintu!! Jantungnya menolak untuk berdetak ketika ia melihat seorang tante dengan vulgarnya buang hajat sambil membentangkan koran. Ia tidak dapat melihat wajah tante itu. Hanya hajatnya!

Di bilik sampingnya, seorang gadis berjongkok sambil menarik tissue gulung. Ia memalingkan muka ketika gadis itu mulai melap bagian intimnya. Sementara itu, seorang ibu menceboki anak laki-lakinya di wastafel. Tapi tampaknya, hanya ia sendiri yang keberatan dengan semua pemandangan ini.

Mendekati musim panas, orang semakin gemar buka-bukaan. Seorang gadis yang kepanasan bisa menjepit roknya dengan tangan sambil memegang setang sepeda. Membiarkan angin semilir menyejukkan pahanya yang terbuka dengan leluasa.

"Ih..aku sih nggak bakal nafsu sama cewek sini, bulu keteknya tebel aje!" 

Denise terpingkal-pingkal mendengar komentar James. Inilah negara leluhurnya, penuh kejutan! Beijing bukan seperti yang dibayangkannya. Ia mengira kota bersejarah ini akan indah, sejuk, dan membuatnya betah pada pandangan pertama. Tapi ternyata Beijing bukan kota yang ramah. Anginnya berat, debu kuning gurun Gobi bangun lebih pagi daripadanya. Begitu keluar rumah, debu gurun yang sangat halus menyelimuti seluruh permukaan kulit dan menyelusup ke sela-sela baju, mengisi rongga di antara rambut dan dengan kurang ajarnya memaksa masuk lewat mata, telinga, hidung dan mulut. Seakan belum cukup, konstruksi gedung dan jalan berlangsung di mana-mana. Menambah kelabunya udara. Ke manapun ia memandang selalu ada kerangka bangunan pencakar langit yang setengah jadi. Suara berdebum mesin-mesin berat konstruksi juga senantiasa bergaung. Menurut James, kota ini sakit hati karena kalah bersaing dengan Sydney untuk menjadi tuan rumah Olimpiade tahun 2000 nanti. Oleh karena itu, pemerintah Cina membangun kota ini habis-habisan.

Di Mana NegerikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang