Setelah mereka makan nasi lemak di pinggir jalan, Papa mengantar Denise pergi ke almamaternya. Ci Felice menemani Mama pulang ke hotel untuk beristirahat.
"Ini sekolah tua, mungkin gedungnya tidak terlalu bagus. Jangan kecewa melihat penampilan luarnya, reputasinya bagus sekali, bahkan sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu." Denise hanya diam saja. Ia mengamati bangunan bergaya kolonial ...er...atau bergaya kuno? Yang jelas, model bangunan ini mirip dengan rumah Encek Mama yang sudah tua sekali di Cirebon. Lantainya dari ubin berwarna abu-abu kusam, dindingnya berwarna krem yang kekuning-kuningan di beberapa tempat. Kaca nako yang menghiasi jendela kelas terbuka lebar-lebar. Huruf Cina besar-besar bertengger di tembok lantai dua. Ngeri rasanya membayangkan ia akan jadi murid di sekolah yang bahkan namanya saja tidak bisa ia baca.
"Namanya apa Pa?"
"Guang Ming."
"Kok tidak ditulis pakai alphabet?"
"Ini sekolah Cina, semuanya pakai bahasa Cina." Hati Denise ciut. Ia berusaha mengejar langkah Papa yang besar-besar sambil melayangkan pandang ke sekelilingnya. Pelajaran sedang berlangsung. Ini seratus persen sekolah Cina. Tidak ada satu pun wajah Melayu atau India di dalamnya. Bahkan guru-gurunya pun Cina.
"Tapi Pa, bahasa Mandarin Sun 'kan jelek sekali. Mana bisa ikutin pelajaran?"
"Tenang, ada kelas preparation khusus. Kelas belajar bahasa Mandarin. Nanti kalau sudah bisa, yaah..mungkin satu tahun, baru kamu masuk kelas biasa."
"Berarti rugi satu tahun dong?"
"Apa artinya rugi setahun dibanding tambah kemampuan satu bahasa?"
"Hmm..." ia tidak tahu juga. Sebegitu pentingnyakah bahasa Cina? Kenapa Papa tidak memasukkannya ke sekolah berbahasa Inggris saja?
Papa melongokkan kepalanya ke sebuah ruangan yang pintunya terbuka.
"Chen xian sheng?" *1)
"Oo...Deng xian sheng?"*2) seorang pria yang rambutnya mengkilap balas melongok.
"Betul."
"Ooo...silahkan masuk." Hanya sampai di situ percakapan yang benar-benar ia mengerti. Sesudahnya, Papa dan Mr. Chen itu berkomunikasi dalam bahasa Mandarin. Mula-mula, Papa memperkenalkannya. Denise tahu karena Papa menoel dirinya untuk memberi salam dan menyebut namanya dalam bahasa Mandarin.
"Ni hao.*3)"
"Ni hao." Mr. Chen mengangguk singkat kepadanya dan langsung mengalihkan perhatiannya kepada Papa lagi. Matanya berbinar-binar mendengarkan Papa dengan seksama. Sebuah taplak meja putih berenda lusuh karena debu. Meja kayu yang ditutupnya bermodel kuno, begitu juga perabot lainnya. Mungkin sudah ada sejak Papa masih bersekolah di sana. Kecuali sebuah komputer berlayar tipis, ruangan itu seakan dilupakan waktu.
"You will like it here.". Tiba-tiba saja Mr. Chen berbicara kepadanya. Denise mengangguk singkat. You will like it here. Itu kalimat perintah ? Denise tersenyum paksa.
Mr. Chen mengantarkan mereka ke sayap gedung yang dijadikan asrama. Bagian gedung ini juga tampak tua, walaupun kelihatannya agak lebih baru daripada gedung sekolah. Bau cat menyambut mereka. Temboknya yang putih gading itu tampak baru dipermak. Setiap kamar berisi dua buah kasur tingkat, lemari besar dan meja belajar. Dilihat dari keadaannya yang tersapu bersih, tidak adanya baju-baju yang tergantung di sana-sini atau pun sisir yang salah tempat, Denise menduga ada seorang ibu asrama yang mengatur gadis-gadis di asrama putri ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Di Mana Negeriku
Ficción históricaHi Guyz, Does my name ring a bell? Hopefully yaaa.. Saya penulis Omiyage, Sakura Wonder, Only Hope dan Wander Woman. Ini pertama kalinya saya posting naskah di Wattpad. Berbeda dengan novel yang begitu diterbitkan lepas hubungan, di Wattpad, saya te...