Edward Tjandra
Aku tidak ingat lagi, apa yang membuatku kembali ke Indonesia, Nis. Dulu aku punya visi, punya motivasi, mengubah negara ini, mengawalnya ke masa depan yang lebih baik. Tapi sekarang, aku sadar, siapalah aku, Nis? Bahkan seorang profesor seperti Jake saja tidak sanggup mengubah apa-apa. UUI, hanya sebuah organisasi. Itu saja tidak berhasil ia ubah, bagaimana mungkin kita bisa mengubah negara ini?
Aku rasa, UUI adalah cermin keadaan negara ini. Orang Indonesia pintar-pintar, bisa bahasa asing, pandai berdebat, punya ide-ide fantastis. Tapi tidak punya integritas! Mudah lupa! Oportunis! Aku dan Jake diberi tugas untuk merangkum kebijakan ekonomi dan efeknya pasca Orde Baru. Keruntuhan Orde Baru disoroti dunia. Kalau laporan ini keluar, bisa diterbitkan di jurnal internasional dan nama kami bisa dikenal kalangan akademis. Nama UUI, nama Indonesia juga! Tapi, setelah kata sambutan selesai, setelah cangkir teh dan kopi serta kardus-kardus bekas snack untuk rapat dibereskan, tidak ada satu pun yang mengulurkan tangan untuk menolong.
Kami kesulitan dana untuk membeli data. Jake beberapa kali mengeluarkan uang pribadinya untuk membeli data, yang di negara-negara lain bisa dilihat gratis lewat internet.
Kalau kami mengajak para pengusaha UUI itu untuk rapat, selalu saja banyak yang absen. Alasannya, sibuk dengan perusahaan masing-masing lah, rapat dengan anggota DPR lah, urusan keluarga lah. Mereka hanya memamerkan senyum palsu ketika pejabat datang. You see, mereka menganggap remeh rapat internal, menganggap pertemuan dengan kami, pekerja lapangan, tidak penting. Mereka hanya gemar cari muka dengan pejabat, padahal, kalau ditanya hal yang detil, mereka menyuruh kami maju ke depan. Mereka memberikan kata sambutan, presentasi yang isinya cuma perkenalan, take the credit, kemudian menguap ditelan bumi sampai kunjungan pejabat berikutnya. I'm sick of that, Denise!
Papa, mengetahui keadaanku yang demikian, menawarkan alternatif. Kenapa kamu tidak meneruskan bisnis Papa? Katanya. Ia menjanjikan posisi manajer untuk proyek barunya di Bali. Villa-villa kecil di daerah yang masih perawan. Papa membawaku ke sana, dan aku sempat terpesona. Kawasan villa yang sedang dibangun letaknya jauh dari pusat kota, masih dikelilingi tanah berumput dan rawa-rawa. Bahkan masih belum punya alamat! Karena belum ada jalan resmi yang dibangun.Kalau berjalan sedikit jauh, bisa mencapai pantai yang masih sepi. Kami melewati sekumpulan sapi yang berleha-leha, anak-anak kampung yang menerbangkan layang-layang dan menembaki buah-buahan liar dengan ketapel. Sunset begitu sempurna, sore yang indah untuk kami saja, tanpa ada turis-turis bertelanjang dada dan penjaja kaki lima.
It was heaven.
And then, Papa menunjukkan peta kawasan itu, Ini villa kita, satu di sini, satu di situ, satu lagi kalau bisa Papa mau ambil juga sebelahnya untuk kamu, sekarang masih milik orang Korea. Di peta itu, Nis, ada nama Papa, Budiman Tjandra, di sebelahnya, Kim Myong Hee, Takahasi Shigeru, Shibata Tooru, Allan Hobson, dan masih banyak lagi. Di atas peta, lapangan rumput hijau itu sudah dikotak-kotakkan, sampai penuh, Nis. Sampai ke bibir pantai! Hatiku menangis. Bagaimana mungkin Papa tega melakukan itu! Merusak alam yang demikian indah, tanah yang begitu gembur dan hijau! Dalam sepuluh tahun, semuanya lenyap, berubah jadi kompleks villa yang kosong sepanjang tahun dan hanya dihuni pada masa-masa libur yang singkat ! I can't do it! Aku terlalu cinta negeri ini untuk mengambil keuntungan dari merusaknya.
Aku kembali karena terus-menerus mendengar hal-hal yang baik di Indonesia. Demokrasi yang berdaulat, katanya. Yang kulihat adalah demo di mana-mana, demo yang dikomersilkan, asal ada dana, ada broker, ada rakyat miskin kurang kerjaan, demo pun jadi. Korupsi diberantas, katanya. Yang kulihat adalah pegawai negara yang berkata, "Ini bukan saya yang minta, lho, Pak" sambil menyelipkan selembar uang ke kantongnya. Pelestarian alam, katanya, yang kulihat adalah orang-orang yang membuang sampah ke jalan dari jendela bus, mal-mal beton yang tampak megah dari luar, tapi kosong melompong di dalam.
Aku ingin mengubah negeri ini jadi lebih baik, Nis. Tapi aku tidak sanggup melakukannya sendirian. Too many...too many of them.. Mereka seperti ombak yang mendorongku ke pantai, menguburku dalam-dalam di pasir.
Denise berkali-kali menelan ludah.. Dunia Ko Edward terlalu berbeda dari dunianya. Yang ia lihat adalah wajah Papa yang terantuk-antuk di depan televisi sementara kakinya dipijat Mama, teman-teman yang selalu punya alasan untuk mengajaknya keluar, karaoke, birthday, film baru, konser. Yang ia dapat adalah pujian dari guru-gurunya akan bahasa Inggrisnya yang demikian fasih. Yang ia lihat adalah, toga hitam dan jalan-jalan ke Pulau Seribu sebagai perpisahan dengan teman-teman kampusnya, gaun putih berenda-renda yang mengantarnya menjadi nyonya.
Betul 'kan?
"Aku balik ke kantor dulu, Nis." Ko Edward mengecup keningnya dan beranjak pergi.
"Ko! Tunggu!" Denise menabraknya. Ia merengkuh tubuh Ko Edward. Ia tidak tahu untuk apa ia melakukannya. Ia hanya merasa, Ko Edward-nya.... semakin tidak nyata....... hilang .......entah ke mana.
Gambar Ombak diambil dari https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/736x/5d/08/31/5d083143130e9ea9bc4ba61a0652bcfb--clark-little-photography-ocean-photography.jpg
Gambar pantai yang sepi diambil dari https://media-cdn.tripadvisor.com/media/photo-s/0e/3e/27/d5/suluban.jpg
Gambar pasangan berpelukan diambil dari https://4.bp.blogspot.com/-XpBZwaOCSCU/UCqDQXbf12I/AAAAAAAAAA4/zKC6pzAag30/s1600/cute+couples+in+love+wallpapers+(4).jpg
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Mana Negeriku
Historical FictionHi Guyz, Does my name ring a bell? Hopefully yaaa.. Saya penulis Omiyage, Sakura Wonder, Only Hope dan Wander Woman. Ini pertama kalinya saya posting naskah di Wattpad. Berbeda dengan novel yang begitu diterbitkan lepas hubungan, di Wattpad, saya te...