Kutukan Seumur Hidup

682 61 13
                                    


Awan-awan kelabu menghiasi angkasa, mencemoohnya dari balik jendela mobil. Ketika Papa dan Mama memarahinya, Denise diam saja. Ia hanya diam, menunggu sampai mereka selesai. Ia memang patut dimarahi.

"Pokoknya besok kamu harus kembali ke sekolahmu di Penang. Papa sudah atur tiketnya."

"Awas kalau kamu kabur lagi. Kamu buat kami pusing, dan menyusahkan orang tua Dinda."

"Mengerti?!" 

Ia mengangguk dengan patuh.

"Bibir kamu kenapa?"

"Main basket, kena bola." Denise mengusap bibirnya yang jontor karena sempat mencium aspal.

"Ck ck ck...sempat-sempatnya! Kalau kabur lagi, Mama kunci di kamar!" Ancam Mama.

Lagi-lagi ia mengangguk. Mama dan Papa terlihat bingung. Mungkin mereka sudah bersiap-siap menghadapi perlawanannya yang dahsyat. Mereka tidak tahu tentang peristiwa di KOPAJA. Denise tidak berniat menceritakannya. Ia malas mendengar mereka berkata, "Nah, kan!".

Seumur-umur baru pernah ia mengalami perampokan. Entah apakah kejadian itu masih merupakan rangkaian tindakan kekerasan terhadap orang Cina, atau hanya karena kebetulan saja. Denise menduga, ini adalah cara Tuhan menunjukkan padanya bahwa Papa benar. Belum waktunya ia pulang ke Indonesia.

Denise hanya berharap, kelak, ayah dan ibu Dinda mau berdamai.

Tidak adil.

Dinda bukan orang Cina. Nenek moyangnya sudah ada di Indonesia entah dari kapan. Buyut-buyutnya membuka hutan, bertani di sawah. Leluhurnya menderita di bawah pendudukan Belanda. Dinda adalah pewaris sah negeri ini. Ia berhak mengklaim setiap jengkal tanah dan hasil buminya. Tidak seharusnya ia ikut menanggung akibat dari kerusuhan Mei lalu.

Peristiwa itu bagaikan bom atom. Menyapu kehidupan orang banyak dalam radius yang sangat luas. Orang-orang yang paling sial mengalami kerugian terparah. Nyawa, kehormatan, harta benda. Ada orang-orang seperti dirinya, yang terkena serpihan-serpihannya. Tidak cukup menderita untuk disebut korban, tapi kebagian getahnya juga. Ada juga yang seperti Dinda. Sebenarnya sama sekali bukan sasaran. Tapi harus mengalami radiasi yang berlangsung lama. Dirusak dari dalam, perlahan-lahan.

Denise memutuskan, ada waktunya melawan, tapi ini waktunya untuk menyerah. Kalau angin mendorongnya ke Utara, biarlah ia terbawa ke sana. Suatu saat, arah angin bisa berubah. Ia hanya perlu bersabar.

Hanya satu syarat yang diajukannya.

"Keluarkan aku dari asrama."

Sumber keputusasaannya adalah tinggal di asrama di mana tidak ada orang yang dekat dengannya. Ia bisa tahan dengan anak laki-laki menyebalkan atau pelajaran yang membosankan di sekolah. Tapi ia butuh pulang ke rumah di mana ia bisa melupakan semua itu.

Tiga hari penuh Papa menjelajah Pulau Penang, mencarikan tempat untuknya. Denise menanti dengan tidak sabar. Ia sudah muak tinggal di asrama yang bau cat, sekamar dengan orang-orang yang tidak peduli padanya dan tidur menghadap baling-baling helikopter. 

Akhirnya Papa menemukan tempat untuknya. Asrama privat khusus wanita yang gedungnya sudah agak tua. Waktu Denise mengumumkan dia akan pindah, teman-teman sekamarnya hanya berkomentar, "Oh.", "Really?", "Ke mana?" Tidak ada air mata, tidak ada "I will miss you". Mereka jelas-jelas tidak merasa kehilangan. Ini membuat Denise semakin yakin akan keputusannya.

 Ini membuat Denise semakin yakin akan keputusannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kamarnya yang baru tidak ber-AC. Kecil, dengan satu jendela yang juga kecil. 2 kasur berseberangan menempel ke dinding masing-masing. Ada bagian-bagian tembok yang catnya sudah mengelupas. Tapi itu sudah sangat cukup. Apalagi disediakan makan dua kali sehari. Ci Felice rela meninggalkan kosnya yang menyenangkan untuk menemani Denise. Mereka akan berbagi kamar seperti dulu.

Yang paling asik ialah ada dua orang kakak beradik dari Indonesia juga. Teman baru! Ci Winny dan Merry berasal dari Jakarta. Mereka juga korban kekhawatiran orang tua yang panik dan buru-buru mengirim anak-anak gadisnya ke luar negeri. Ci Winny berusia dua puluh dua tahun. Paling tua di antara mereka berempat. Merry seusia dengannya dan mereka segera menjadi akrab. Masih ada beberapa penghuni asrama lainnya. Dua orang Australia, satu Amerika, dan dua orang Cina. Tapi mereka masing-masing sibuk dengan kegiatannya sendiri. Paling-paling Denise hanya bertukar sapa kalau tidak sengaja bertemu di ruang TV.

Merry memperingatinya akan Deepa, salah satu pembantu di asrama. Tubuhnya seperti raksasa, langkahnya berdentum-dentum, nafasnya memburu. Tidak usah diperingati pun Denise sudah takut.

"Bukan soal fisiknya ya..tapi dia tuh orangnya moody. Bisa tiba-tiba ngambek, banting pintu dan barang-barang. Ya maklumlah...kalau ditinggal suami, mungkin semua perempuan jadi seperti itu." 

Merry mengetahui masa lalu Deepa dari Avati, sepupunya, yang juga bekerja di asrama tersebut. Dulu Deepa adalah wanita yang berbahagia. Ia punya seorang suami dan dua anak yang lucu-lucu. Waktu suaminya memutuskan untuk merantau ke Malaysia, saudara dan teman-temannya di New Delhi mengantar mereka dengan iri. Merantau, melihat dunia luar. Siapa yang tidak mau? Seorang teman lama suami Deepa memiliki sebuah restoran India di Penang. Suami Deepa diterima bekerja di dapur. Anak-anak mereka yang masih kecil ditinggal di India.

Nafkah mereka sebagian besar dipakai untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Sisanya yang hanya segelintir, dikirim ke India untuk kedua anak mereka. Tahun ketiga mereka merantau, suami Deepa lari dengan teman sekerjanya. Seorang waitress. Deepa tidak diceraikan dengan resmi, tidak juga diberi tunjangan hidup. Statusnya menggantung tidak jelas. Ia dibawa keluar dari kampung halamannya dengan janji-janji manis dan harapan masa depan. Hanya untuk ditinggalkan begitu saja di jalan seperti anjing kudisan. Deepa terlalu malu untuk pulang dan bertemu dengan keluarga besarnya. Ia juga tidak tahu harus bekerja apa sepulangnya ke India. Akibatnya, ia menetap di Penang, membanting tulang, dan mengirim uang untuk anak-anaknya. Pupus sudah mimpinya untuk menjemput sukses di perantauan. Hari-hari dilaluinya tanpa arti. Keputusasaan membuatnya makan terus-menerus dan jadi gampang marah.

"Kau tahu, waitress yang lari dengan suaminya itu, orang Chinese Malaysia."

"Oh.." Mata Denise mendelik.

"So, kalau tiba-tiba dia marah sama kamu tanpa alasan, you know why." Merry mengangguk penuh arti.

Denise menelan ludah. Lahir sebagai orang Cina adalah kutukan yang harus ditanggungnya seumur hidup. Di Indonesia ia Amoy yang tidak berhak tinggal. Di Malaysia ia harus bertemu Deepa, yang menyimpan dendam pada orang Cina.

Mengerikan. 

---

Beberapa hari sebelum terbit, kami mengadakan Giveaway #NovelWanderWoman lewat Twitter..and yaaaakkksss!! Sempat no 2 Trending topic di Indonesia!! Cuma gak bisa menggeser Si Prilly ini..haha...Eniweiss...lanjut!!

Gambar Bom Atom diambil dari http://kcfm

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gambar Bom Atom diambil dari http://kcfm.my/v4/wp-content/uploads/2016/03/Ledakan-Nuklir.png

Gambar street art anak naik sepeda motor diambil dari https://cache.travelfish.org/blogs/malaysia/wp-content/uploads/2013/02/penang-street-art-boy-on-motorbike.jpg merupakan gambar di Georgetown di Penang, cukup terkenal dan sering menjadi objek foto turis2

Di Mana NegerikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang