Naik...Turun...

1K 62 6
                                    


Sebenarnya, ia mencari-cari bahan percakapan karena gugup berduaan saja di kamar dengan Panjul. Rasa ketertarikannya pada Panjul semakin merekah kalau tidak ada yang mengalihkan pikirannya. Seperti sekarang. Ia memperhatikan tangan Panjul yang bergerak naik turun di tungkai kakinya. Naik ke lutut, kembali ke mata kaki, naik lagi sampai lutut, kembali lagi ke mata kaki. Tangannya adalah tangan pria sejati. Buku-buku jarinya besar-besar, permukaannya kasar dan kapalan di beberapa tempat. Otot-otot tangannya seolah berontak ingin keluar dari kulit.

Naik, turun.

Naik, turun.

Ini bukan tangan seorang pelajar, atau seseorang yang kelak mendekam di kantor. Tapi tangan seorang pria yang dibuat untuk hidup di alam terbuka dan menantang bahaya.

Naik, turun.

Naik, turun.

Denise menelusuri tangan Panjul ke atas. Ke lengannya yang coklat kemerahan terbakar matahari, kemudian ke punuk kecil di bawah bahu. Lengan inilah yang menopang berat tubuhnya di Chang Cheng.*21)

Naik, turun.

Naik, turun.

Matanya beralih ke leher dan wajah Panjul. Wajahnya, sama seperti tangannya, begitu liar. Dahinya menonjol, alisnya tebal dan berlebihan, hidungnya besar, bibirnya pecah-pecah. Tapi sorot matanya begitu tajam. Bagai elang, atau...entahlah...ia belum pernah melihat elang. Yang jelas sorot mata Panjul bisa merobek-robek pertahanannya. Mata Denise kemudian turun ke dadanya, perutnya yang rata, pahanya yang besar dan atletis. Hatinya berdesir. Mungkin pemuda ini tidak tampan. Tapi ia yakin pria ini bisa jadi model celana dalam bermerek. Calvin Klein? Pierre Cardin? Ia membayangkan punggung Panjul yang telanjang dan berkilat-kilat oleh keringat tercetak besar-besar di sebuah billboard raksasa di atap gedung. Wajahnya tidak perlu menghadap kamera.

Tangan Panjul masih bergerak dengan telaten.

Naik, turun.

Naik, turun.

Panjul hanya mengenakan jeans yang sedikit melorot. Merek celana dalam yang sedang diiklankan mengintip. Ia berdiri di pinggir tebing, menghadap matahari terbenam. Merah di angkasa. Buih-buih magma meletup dari muka kawah. Merah di daratan. Ia diselimuti api yang membara.

Dan di sana. Tentu saja. Denise melihat segaris air bening di antara kedua kakinya. Panjul mengencingi kawah merah yang meronta-ronta itu! Panas lava menjilat mata kakinya yang sedang digenggam Panjul. Merambat naik bersama pijatan tangannya.

Naik, turun.

Naik.... naik...terus merayap. Tangan Panjul sudah turun kembali tapi rasa panas itu terus naik ke atas. Berputar-putar di lutut kemudian naik ke paha, masih naik lagi...naik...naik...

"STOP!" Denise menghentakkan kaki dan menariknya ke arah tubuhnya.

"Kenapa?" Panjul kebingungan.

"Nggak.. kalau kelamaan dipijat, jadi sakit lagi." Denise buru-buru menghidupkan televisi.

Pintu diketuk.

"Masuk." Kali ini pasti Vina.

"Eh...James.Ni hao *22)." Sapa Panjul. 

Denise membelalak. Selama ia sakit memang Panjul dan James mengunjunginya setiap hari. Tapi mereka tidak pernah datang bersamaan karena sebelumnya, Panjul hanya datang di pagi dan malam hari.

"Oh..sorry, ganggu ya?" Tanya James.

"Nggak..masuk aja." Lagi-lagi Panjul yang buka suara.

Di Mana NegerikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang