Hi Guyz,
Does my name ring a bell? Hopefully yaaa..
Saya penulis Omiyage, Sakura Wonder, Only Hope dan Wander Woman.
Ini pertama kalinya saya posting naskah di Wattpad. Berbeda dengan novel yang begitu diterbitkan lepas hubungan, di Wattpad, saya te...
Denise berdiri dan meninggalkan kursinya untuk meluruskan kaki. Sudah belasan jam berlalu sejak mereka sekeluarga berangkat dari Cengkareng. Waktu seakan terhenti, seakan mereka hanya menunggu dan menunggu tanpa akhir. Tidak ada getaran maupun guncangan, pemandangan di luar hanya itu-itu saja. Langit cerah tanpa awan secuil pun. Terang terus-menerus, tidak kunjung gelap, karena mereka terbang ke Barat, mengejar matahari.
Bukan ia saja yang mondar-mandir dalam kabin pesawat. Beberapa penumpang bahkan tidak malu-malu melakukan gerakan senam. Mama dan Papa termasuk yang rajin mondar-mandir. Terutama Mama, yang terus-menerus mengeluh asam urat yang membuat otot-ototnya kaku. Denise memanfaatkan kesempatan ini untuk 'browsing' pemuda-pemuda tampan di sekitarnya.
Banyak anak-anak muda dari Indonesia di dalam pesawat ini. Ia merasa tenang. Ke mana pun ia pergi, hanya satu yang dikhawatirkannya. Komunitas orang Indonesia. Denise tidak punya mimpi muluk untuk membangun kehidupan baru dari nol, atau menjadi perantau yang kelak pulang kampung dengan sukses. Ia hanya punya satu keinginan, hidup normal seperti layaknya seorang gadis seumurnya, nongkrong, jalan-jalan, nonton. Ia merasa berhak atas semua itu. Masa muda hanya datang sekali, ia tidak mau itu terampas gejolak politik atau kecemasan Papa. Ia berhak, sekali lagi, berhak! Mengecap setiap saat dari manisnya hidup!
Denise butuh teman-teman yang punya latar belakang yang sama dengannya, yang bisa berbicara dalam bahasanya. Bukannya ia sok patriotis, hanya saja, ia sadar, inilah dirinya, orang Indonesia. Dan orang Indonesia hanya bisa bahagia kalau bersama-sama dengan orang Indonesia lainnya, seperti saat dia di Beijing.
Seperti saat dia bersama Panjul...
Pikiran tentang Panjul kembali menghantuinya, menggerayangi benaknya. Dengan akal sehatnya Denise berusaha melupakan bajingan itu, berjuang menjalani hari-harinya dengan kewajaran dan rasio. Tapi selalu ada arus dalam kepalanya yang berusaha menjeratnya kembali dalam lorong-lorong keputusasaan dan menenggelamkannya di sana. Ia hanya terus-menerus menengadah, melihat ke angkasa, meyakinkan dirinya cahaya matahari akan selalu merengkuhnya dengan hangat, tidak seperti Panjul yang telah mencampakkannya dengan dingin.
Seorang pemuda keluar dari dalam toilet dan berjalan melewatinya.
Panjul!
Tapi bukan.
Hatinya melesak. Pemuda itu hanya kebetulan punya rambut dan punggung yang mirip seperti Panjul. Punggung berotot yang agak bungkuk, tempat ia menyandarkan kepalanya yang letih selama perjalanan pulang dari Si Ma Tai. Matanya otomatis mengikuti pemuda itu. Sekilas ia melihat wajahnya. Putih, mancung, alisnya tebal. Jauh lebih tampan dari Panjul. Denise agak terkejut menyadari bahwa, kalau bisa memilih pun, ia masih lebih memilih Panjul.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Ugh...pegel deh....nggak sampai-sampai!" Ci Felice bergabung dan memutar-mutar sendi pergelangan kaki di sampingnya.
"Iya, memang!" Denise tidak sabar ingin melihat negara seperti apa Amerika itu. Kalau semuanya berjalan lancar, kemungkinan besar negara ini akan jadi tanah airnya kelak. Papa sudah mengantongi green card. Ia akan sekolah di sana, bekerja di sana, mungkin. Kelak, bukan tidak mungkin ia menikah dan berkeluarga di sana. Ia ingin menilai segala kemungkinan itu dengan mata kepalanya sendiri.
"Hah...duduk terlalu lama begini paling tidak bagus untuk orang tua seperti Papa." Papa tiba-tiba sudah berada di sampingnya juga. Dalam seketika, Ci Felice melengos pergi. Denise dan Papa bertukar pandang, "Dia masih marah sama Papa?" Denise memutar matanya dan mengangkat bahu.
"Padahal sudah begitu lama..." Papa menggumam dengan lesu. Denise menepuk-nepuk punggung Papa, hanya itu yang bisa ia lakukan untuk menghiburnya.
Akhirnya, setelah hampir 24 jam perjalanan, mereka mendarat di McCarran International Airport. Denise mampir ke toilet untuk membenahi diri. Kantung matanya hitam dan rambutnya berminyak. Penampilannya menjijikkan. Ia bahkan merasa tubuhnya bau setelah sekian lamanya tidak mandi. Tidak heran kalau Panjul dengan mudah melupakannya. Seorang gadis sebayanya keluar dari toilet dan mencuci tangan. Denise mengingatnya sebagai sesama penumpang yang naik dari Singapura. Ia mencuri pandang. Ada saja gadis-gadis yang tampak tetap cantik bahkan setelah berbelas-belas jam terkurung dalam kabin pesawat. Huh!
Kalau bandara Soekarno-Hatta memancarkan kesan mewah masa lampau yang anggun dan elegan, McCarran tampil modern dengan panel-panel besi dan mesin-mesin jackpot-nya yang menggoda. Inilah Las Vegas! Kota judi! Daerah yang sebagian besar gersang ini menjadi kaya karena banyaknya orang yang datang membawa duit. Tidak heran kalau perjudian dibiarkan berkembang di kota ini. Di tengah-tengah gurun pasir begini, pasti hanya sedikit yang bisa dilakukan.
Ko Halim dan O O A Lien melambaikan tangan menyambut mereka.
"O O" sapa Denise sambil memeluk O O A Lien.
"Long time no see-ah, wah, kamu kurusan ya?" O O memegang kedua lengannya dan memandanginya dari atas sampai bawah. Denise tersipu, O O memperlakukannya seperti anak kecil. Ia hanya tersenyum.
Ko Halim mengemudi sementara O O duduk di sampingnya, berceloteh.
"Benar 'kan kataku. Sepuluh tahun yang lalu aku yang membujuk A You dan A Tiam supaya mereka mendaftar untuk mendapat green card. Waktu itu mereka tidak tertarik sama sekali. Bisnis mereka baru mulai dan berkembang pesat! Coba lihat sekarang! Untung mereka dulu mendengarkanku. Sekarang kalian bisa bersekolah di American University dengan biaya lebih murah, dan di sini aman, tidak seperti di Indonesia." O O berhenti sebentar untuk mengulas lipstik ke bibirnya, "Lagipula, di sini 'kan ada aku. The best babysitter they can have!"
"Babysitter!! I'm not a baby!" Ko Halim berteriak.
"Yea, yea, I know, tapi untukku, kalian semua tetap saja baby!" O O mengacungkan telunjuknya dan menunjuk Denise dan Ci Felice juga. Bibir Ci Felice tersungging, senyum pertamanya sejak mereka berangkat dari Jakarta.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Makasih untuk pembaca yang setia mengikuti cerita ini. Sebenarnya belakangan saya jadi males update, gara2 ter-trigger year end holiday, banyak kegiatan sana-sini, jadi kacau jadwalnya. Dutambah sekarang lagi school holiday di Australia, dan saya sibuk entertain anak-anak, tiap hari bingung mau dibawa ke mana. Tapi kalau lagi malas2 gini, kepikiran juga, para pembaca yang sudah ngikutin kasian dong...Seperti menulis buku, ternyata meng-upload buku itu juga pekerjaan marathon ya ..mesti punya komitmen dan stamina..heheh....semangat bareng ya...temans semangat membaca, saya semangat meng-upload.
------
Gambar Las Vegas diambil dari http://svcdn.simpleviewinc.com/v3/cache/lasvegas/309728B09D1231310A4501F778AC28B1.jpg
Gambar punggung pemuda diambil dari https://ih1.redbubble.net/image.101736887.1292/rab,unisex_tshirt,x1350,101010:01c5ca27c6,back-c,30,60,940,730-bg,ffffff.u3.jpg
Gambar airport Las Vegas dengan jackpot machine diambil dari http://www.lasvegas-airport.net/images/slides/las-vegas-airport-4.jpg