Keinginan-keinginan yang Bertentangan

436 37 8
                                    

Dua tahun sebelumnya, pemuda ini, pemuda yang sama, menyeretnya untuk ikut Pemilihan Umum.

"Ayolah, Nis. Pertama kali dalam sejarah Indonesia, rakyat bisa memilih Presiden! Isn't this exciting!?" Denise, yang pada waktu itu baru pulang kuliah, terpaksa ikut-ikutan nyoblos karena digiring sampai ke depan TPS. Baru dua bulan berlalu, Pemilu kembali diadakan, karena Pemilu pertama tidak menghasilkan pemenang mayoritas. Lagi-lagi, Ko Edward yang dengan antusias memaksanya untuk 'turut ambil bagian dalam pesta demokrasi', katanya.

Denise tidak mengenali lagi pemuda yang duduk di depannya.

"Bagaimana dengan cita-cita Koko? Apa jadinya kalau Indonesia kehilangan satu lagi cendekiawan muda yang peduli akan masa depan bangsa?"

"Aaaah..." Ko Edward membelalakkan matanya, "Aku?" ia menggelengkan kepalanya sambil tertawa. "Negeri ini yang menolak untuk berubah, Nis. Bukan aku yang meninggalkannya. Lama-lama malah aku yang ikut-ikutan terseret."

Ia terkekeh, "Aku datang ke kantor terlambat, karena atasanku juga baru sampai di kantor jam sepuluh. Mau minta tanda tangan tidak bisa, kalau butuh instruksi, mesti tunggu dia datang. Aku juga jadi sering berlama-lama makan siang ke luar kantor, habis, teman-temanku semua begitu." Ko Edward menggenggam kedua tangan Denise, "Aku benci pada diriku yang seperti itu, Nis. Entah apa yang membuat kami jadi begitu. Mungkin hawa panas di sini membuat orang jadi malas."

"Di US, mungkin tidak bisa jadi bos seperti Papa, tidak bisa bekerja dengan orang-orang hebat seperti di UUI. Tapi setidaknya, aku bisa melihat hasil dari pekerjaanku. Merasa bahagia dalam kesederhanaan dan kerja keras. Dikelilingi orang-orang dan lingkungan yang mendukung. Jadi orang berguna." Ko Edward menghela nafas, "Ya, cuma itu yang aku mau. Merasa berguna."

"Jadi, apa jawabanmu?" tanya Dinda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jadi, apa jawabanmu?" tanya Dinda.

"Aku bilang akan pikir-pikir dulu." Dinda mengangguk prihatin. "Cepat atau lambat kamu harus pergi, Nis." Di luar dugaan, Dinda mendukung penuh keputusan Ko Edward. Dinda, yang jalan-jalan terjauhnya adalah shopping di Singapura, mungkin tidak mengerti apa masalahnya. Menikah dengan anak pengusaha, kemudian menempuh hidup baru di Amerika, tentu terdengar seperti masa depan yang gilang-gemilang di telinganya.

"Nis, sebentar lagi kalian akan jadi suami istri. Mestinya mulai sekarang kamu belajar menyesuaikan pikiranmu dengan pikiran dia, Nis."

"Lah, bagaimana dengan keinginanku sendiri?"

"Yah..'kan, keinginan kamu untuk bersatu dengan dia. Jadi, pasti, demi keinginan itu, ada keinginan-keinginan lain yang harus dikorbankan."

"Masa sih?"

"Lagipula, kamu 'kan selalu bilang, mau melanjutkan masa mudamu yang terputus. Kalau kamu menikah dan tinggal di Indonesia, semuanya sudah tidak sama lagi, Nis. Kamu tidak bisa seenaknya keluar malam, atau jalan-jalan sama teman. Kamu sudah jadi istri orang! Jadi, apa bedanya kamu tinggal di Indo atau di Amrik?"

Di Mana NegerikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang