Kek Lok Si

875 72 2
                                        


Felice Deng

Kasihan Sun-sun. Dia sangat kesepian. Mulanya aku iri padanya. Sekolah asrama? Wow! Pasti penuh dengan teman-teman dan pesta malam yang mengasyikkan. Tapi ternyata tidak.

Aku masih beruntung. Rumah kos ini penuh dengan orang Indonesia. Walaupun mereka semua berbicara bahasa Hokkian satu sama lain, aku tidak merasa terganggu. Ya..itu mungkin bedanya aku dengan Sun-sun. Ia selalu punya gambaran, bagaimana seharusnya ini dan itu, langsung protes kalau keadaan tidak seperti yang diinginkannya.

Ini negeri orang, tentu saja kita tidak bisa seenak kalau tinggal di negeri sendiri, dikelilingi teman-teman. Kita adalah pengungsi. Aku cukup bersyukur bisa punya tempat tidur, bisa melanjutkan sekolah. Walaupun aku tidak pernah mimpi untuk belajar perhotelan. Yah...sejujurnya, aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan kelak. Ketika Papa menawarkan, "Apa kamu belajar perhotelan saja?" aku mengiyakan dalam sepuluh menit.

Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Kenapa kami harus dijadikan sasaran kekerasan?  Mama selalu membagi-bagi 'THR' di waktu Lebaran, untuk tukang urut, pembantu, tukang telur di pasar. Papa selalu membeli korannya di jalan, bukannya berlangganan. "Untuk membantu anak-anak jalanan," katanya. Kami juga diajar untuk memperlakukan supir dan pembantu dengan sopan. Apakah itu tidak cukup? 

Aku yakin, ini bukan masalah 'Cina atau bukan'. Tapi masalah 'cukup makan atau tidak'. Ketika hidup menjadi sulit dan harga-harga tak terjangkau, manusia cenderung mencari alasan untuk memuaskan nalarnya. Mengkambinghitamkan sesuatu, adalah salah satu variannya.

 Mengkambinghitamkan sesuatu, adalah salah satu variannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Hukuman yang paling menjatuhkan harga diri ialah hukuman yang membuat seseorang merasa bodoh, melakukan pekerjaan yang tidak perlu sama sekali. Seperti mengepel lantai yang sudah bersih. Sudah tiga Senin berturut-turut Denise mengepel lantai asrama. Ia dihukum karena tidak pulang ke asrama selama akhir pekan. Guru asrama, Miss Chiu, memergokinya pulang pagi-pagi di suatu Senin. 

Teman-teman sekamarnya tentu saja tahu. Tapi mereka juga tidak mengadu. Bukan karena melindunginya, tapi karena tidak peduli. Di satu pihak ia merasa aman karena mereka tidak mencampuri urusannya. Tapi di lain pihak, ia sedih. Ia rindu ditelepon Papa dan diomeli, disuruh cepat-cepat pulang, seperti dulu. Ternyata kebebasan baru bisa dinikmati, kalau ada pembatasan.

Minggu pertama, ia bersungut-sungut. Ada cleaning service yang selalu menggosok lantai sampai mengkilap. Buang-buang waktu. Minggu kedua ia melakukannya dengan pasrah. Apa pun konsekuensinya, ia tidak akan berhenti menghabiskan akhir pekan di tempat Ci Felice. Hanya pada saat-saat itulah ia bisa leluasa bercerita dengan bahasa Indonesia, mendapat perhatian penuh dari Ci Felice, dan merasa 'hidup'. Minggu ketiga, ia yang menghampiri Miss Chiu dan menawarkan diri untuk mengepel. Miss Chiu hanya bisa berdecak keras-keras sambil menggeleng-gelengkan kepalanya yang beruban. 

Bersama Ci Felice ia menonton DVD sampai tertidur di sofa, jalan-jalan ke Komtar atau makan enak di Georgetown. Tidak keluar pun, Denise sudah cukup senang. Teman-teman kos Ci Felice lebih majemuk daripada teman-temannya. Mereka datang dari Jakarta, Lampung, Pekanbaru dan Kalimantan. Tapi tetap saja yang paling banyak dari Medan dan rata-rata bisa berbahasa Hokkian. Tapi itu tidak membuat mereka mengucilkan Ci Felice. Dengan senang hati mereka mengajari Ci Felice dan menyambut dirinya. Mungkin karena mereka lebih dewasa dari teman-temannya.

Bergaul dengan mereka membuat telinga Denise sedikit banyak mulai bisa menangkap 'bahasa dewa' itu. Misalnya, 'kia-kia', 'tapo', dan 'bo lui'.*6) Ada juga frase-frase praktis yang sekarang pun ia kuasai. Kalau ada panggilan alam yang mendesak sementara WC sedang dipakai, 'kha me, wa cin kip!''*7), atau 'lu qi si'*8), umpatan yang sering keluar dari mulut Ci Suci.

Ci Suci teman sekamar Ci Felice yang selalu membawa jimat Buddha kecil berwarna emas di dompetnya. Ia selalu punya stok Hebi Hu, dan bika ambon, kiriman orang tuanya dari Medan. Di lehernya tergantung kalung giok berwarna hijau susu dengan tali merah terang. "Untuk mengusir roh jahat dan supaya hoki," katanya.

Minimal sebulan sekali, Ci Suci pergi ke kuil Kek Lok Si untuk membakar hio

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Minimal sebulan sekali, Ci Suci pergi ke kuil Kek Lok Si untuk membakar hio. Sabtu kemarin, Denise dan Ci Felice pun ikut. Dibanding kuil Buddha di Puncak, tempat abu A Kong disemayamkan, Kek Lok Si sangatlah meriah, kalau tidak mau dibilang norak. Lentera merah dan kuning berselingan tergantung di atas kepala mereka. Berayun-ayun dengan panik bila tertiup angin, seolah berebutan minta perhatian. Belum lagi warna-warna kinclong yang menghiasi atap-atap kuil. Ada yang berwarna kuning oranye terang, persis seperti warna buah mangga yang sudah matang. Bangunan di seberangnya beratapkan genting warna hijau tua dengan pinggir yang dicat merah. Sementara tembok yang yang mengelilinginya dinaungi atap berwarna biru benderang. Entah siapa yang mendesain kuil ini. Denise merasa dirinya tersesat dalam lukisan anak TK.

Untuk masuk ke kompleks kuil, mula-mula mereka harus mendaki begitu banyak tangga yang diapit oleh toko-toko kecil. Toko-toko kecil ini tak ubahnya seperti pasar kaget yang sering menyita jalan-jalan Jakarta di malam hari. Jimat-jimat, kalender bergambar Kwan Im, Sang Dewi Welas Asih, dan pajangan-pajangan norak made in China menghiasi display mereka. Barang-barang yang tidak sesuai konteks pun dijual di sini. Daster, pakaian dalam dan kaos-kaos bertuliskan 'Penang' memeriahkan suasana.Denise mengira-ngira apakah Sang Buddha Gautama tidak keberatan kalau kuilnya dijadikan pasar malam. Tapi nyatanya, di mana ada demand, di situ ada supply. Beberapa toko ini sibuk melayani turis.

"Gila...kok bisa kepikiran belanja yah..nafas saja sudah ngos-ngosan."Ci Felice berhenti sebentar, mengejar nafas.

"Ya bisa doong...nanti turunnya kan bisa...ayo, jalan lagi. Tinggal sedikit." Ci Suci menyemangati mereka.


*6) Jalan-jalan, cowok, nggak punya duit

*7) Buruan, saya kebelet!

*8) Mati aja Lu!

-------

Gambar Kek Lok Si diambil dari https://www.makemytrip.com/travel-guide/media/dg_image/penang/Kek-Lok-Si-Temple_Wikimedia-Commons_Balou46.jpg

Gambar kain pel diambil dari http://pad3.whstatic.com/images/thumb/1/1d/Mop-a-Floor-Step-4-preview.jpg/728px-Mop-a-Floor-Step-4-preview.jpg

Gambar kalung giok diambil dari https://s3.bukalapak.com/img/87351145/s-178-178/20150811_173047_scaled.jpg

Di Mana NegerikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang