Selamat Tinggal Paviliun Nehi

627 68 7
                                    


Xin Jia 1999

Firasatnya benar. Arah angin benar-benar berubah. Papa mengumumkan kalau hari-harinya di Penang akan segera berakhir. Bukan karena usul Pak Habibie didaulat menjadi undang-undang, dan semua pelajar Indonesia di negara asing ditarik kembali, tapi karena teman-teman sekelasnya lenyap satu-persatu. Situasi politik yang berangsur stabil membuat para orang tua murid menarik anak-anaknya pulang. Kelas persiapan yang tadinya berisi 40 orang lebih, sekarang tinggal 5 orang, termasuk Denise. Pihak sekolah sendiri yang menghubungi orang tua murid dan menjelaskan kalau kelas ini akan ditutup karena dinilai 'not feasible financially'.

"Bangkrut!" itu terjemahan Papa. Satu kelas dengan lima orang, tetap membutuhkan tujuh guru sesuai dengan kurikulum.

"Jadi Sun gimana?"

"Papa, sudah pikir, tanggung kalau kamu pulang ke Indonesia sekarang. Sekalian saja teruskan belajar bahasa Mandarin di Beijing." Beijing?!! Beijing yang di Cina itu?

"Sama-sama Ci Felice?"

"Nggak lah...dia 'kan bisa teruskan sekolah di tempat sekarang. Kalau dia ikut pindah, dan masuk ke sekolah baru, itu namanya buang-buang waktu." Tegas Papa. Denise terkesima. Itu bukan tujuan pertanyaannya. Ia tidak memikirkan apakah waktu Ci Felice akan sia-sia atau bukan. Ia ingin tahu apakah ada yang menemaninya di tempat yang asing nanti. Jawabannya: tidak ada.

"Sun sendirian ke Beijing, Pa?"

"Yah..kenapa tidak? Kamu 'kan sudah besar, di sana juga nanti masuk asrama kok." Asrama...lagi-lagi asrama...

"Asrama di sana nggak akan seperti di Guang Ming, lah. Orang semua ke sana karena mau belajar bahasa Cina, jadi mereka semua nggak bisa bahasa Cina seperti kamu."

"Sendirian Pa?" Kok Papanya tega melepaskannya begitu saja? Bukankah dia menginjak masa pubertas, di mana orang tua biasanya mengetatkan penjagaan? Ia gamang dihadapkan pada kebebasan yang begitu besar, tidak yakin siap menghadapinya.

"Ya, sendiri. Kenapa, kamu takut?" Mendengar kata 'takut' Denise jadi tertantang.

"Nggak, siapa bilang Sun takut!"

"Ya, sudah kalau begitu. Nanti Papa urus kepergian kamu ke Beijing." Begitulah. Dengan demikian simple-nya, masa depannya ditentukan. Denise menyesal. Ia selalu saja bertindak dengan emosi.

"Nanti di sana kamu juga banyak teman, Sun. Pasti ada orang-orang seperti Ci Winny dan Merry. Bahkan kamu mungkin cari gara-gara dengan orang dan kemudian jadi teman seperti Deepa."

Denise merengut. Pikirannya berkecamuk. Papa dan Mama dengan seenaknya memutuskan hidupnya, hanya karena ia masih di bawah umur. Tapi di lain pihak, ia juga tidak tahu harus bagaimana.

Denise uring-uringan, tidak tahu harus melemparkan kemarahannya pada siapa. Terlalu banyak biang keladi yang membuatnya terjebak dalam situasi ini. Papa dan Mama, yang maunya hanya melemparkan dirinya sejauh mungkin dari Indonesia. Pelaku kerusuhan, yang menyebabkan dirinya terlunta-lunta di negeri asing. Cukong-cukong Indo, yang mungkin tidak sadar pernah berbuat dosa sosial sehingga semua ini harus terjadi. Dirinya sendiri, yang masih enam belas tahun, sehingga belum bisa berdikari.

"Ambil aja positifnya..kamu 'kan nggak suka sekolah di Guang Ming yang isinya orang-orang sok Cina itu."

"Sudah ! Sudah! Cukup! Aku tidak mau dengar lagi!" Sekarang ia juga marah pada Ci Felice. Seharusnya Ci Felice yang paling tahu ia tidak suka di-ping-pong seperti itu.

Denise menelungkupkan tubuhnya di kasur dan membenamkan mukanya dengan guling dan bantal. Ia ingin menutup mata, telinga, dan pikirannya dari kenyataan.

Di Mana NegerikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang