Mereka duduk-duduk di sana, sambil membolak-balik majalah Gadis. Sesekali Denise menjamil blueberry scone milik Novi. Ia menghitung-hitung pengeluarannya hari itu. Taksi untuk ke Taman Anggrek, espresso yang salah pesan dan chocolate marshmallow yang kemanisan. Belum lagi kalau mereka nongkrong sampai malam, tentunya ia harus mengeluarkan uang lagi untuk makan malam. Apa jadinya kalau Dinda ikut? Tentu uang jajannya sebulan habis dalam sekejap.
Aku nggak seperti kalian. Uang jajanku pas-pasan.
Suara Dinda terngiang-ngiang di benaknya. Denise bersyukur Dinda memilih tidak ikut.
Nongkrong beberapa jam dengan tiga sekawan ini membuatnya lebih mengenal mereka. Karen, seperti dugaannya, adalah gadis kaya yang angkuh. Tampaknya ia melihat dunia dari kaca matanya sendiri Semuanya begitu jelas, hitam dan putih, kaya dan miskin, cantik dan jelek. Dugaan Denise tentang kekaguman Karen pada Rita terbukti benar. Walaupun sekilas Karen tampak seperti kepala gank, sebenarnya Rita-lah yang memegang kemudi. Karen selalu mengeluarkan kata-kata dengan nada kalimat perintah, tapi dengan licin Rita membelokkan keinginan Karen hanya dengan kalimat retorik yang menggantung. Tanpa sadar, Karen pun mengikuti kemauan Rita.
Rita begitu misterius. Ia tidak bisa meraba apa sebenarnya yang dipikir atau dirasakan Rita. Air mukanya selalu tenang hampir tak berekspresi. Emosi yang ia tunjukkan hanyalah seringaian sinis, mata yang disipitkan atau mulut yang dikerucutkan. Ia benar-benar bergulung kabut, dan sebagian kabut yang menyelimuti dirinya berasal dari asap rokok.
Dari ketiganya, Denise merasa paling cocok dengan Novi. Ia down to earth. Sederhana. Tidak ada kepura-puraan dalam segala lakunya. Denise sempat merasa tegang selama beberapa menit pertama duduk dengan ketiga gadis itu. Demi melihat Novi yang memesan dua scone sekaligus karena, "Takut nggak cukup." jelasnya, Denise pun merasa lega. Ia juga senang karena Novi yang paling keras tertawa setiap kali ia melontarkan humor dan waktu salah memesan kopi.
Tidak seperti Karen dan Rita yang full make up, Novi tampak bersahaja dengan celana jeans dan kaus gedombrongan. Ujung rambutnya yang dipotong model bob jatuh persis di perbatasan dagunya yang agak berlipat dengan pipinya yang seperti bakpau. Lemak pinggangnya berlipat-lipat di balik kausnya yang tipis. Novi tidak terlalu kaya, tidak terlalu cantik dan tidak terlalu pintar. Denise bertanya-tanya apakah Novi juga pernah melempar kotak pensil ke muka seorang cowok seperti dirinya sehingga direkrut Karen ?
Pertanyaannya itu terjawab ketika Karen pergi ke kamar kecil.
"Kamu tahu nggak, Karen itu kagum sama kamu karena kamu punya cowok." Novi mengangguk-angguk sambil mengerjapkan matanya. Rita tertawa serak sebelum mengisap rokoknya lagi.
"Ah..masak...dia 'kan juga banyak yang naksir." Sergahnya.
"Tapi semuanya nggak ada yang dia suka. Makanya dia nggak pernah pacaran sampai sekarang. Yang dia suka justru nggak suka sama dia."
"Oya ?" Denise mulai tertarik. Ini gossip gres. "Siapa?"
"Koko-ku." Novi tersenyum dan segera menutup bibirnya dengan ujung jari telunjuknya. Denise mengangguk mengerti, ia tidak akan mengatakannya pada siapa pun, kecuali Dinda, mungkin.
"Kok dia bisa suka sama koko kamu? Ketemu di mana?"
"Aku dan Karen 'kan teman dari kecil. Dari SD. Aku kenal dia waktu hari pertama masuk sekolah. Kami duduk semeja. Karen dulu pemalu dan cengeng. Ke mana-mana dia membuntutiku. Dia sering main ke rumahku dulu, orang tuanya 'kan jarang di rumah. Waktu kecil kami selalu main bertiga dengan Koko."
"Itu dugaan kamu saja, atau memang benar dia pernah bilang sendiri?" Denise curiga. Karen yang cantik itu naksir sama koko-nya Novi ?
"Dia nggak pernah bilang terus terang. Tapi dia sudah beberapa kali bertanya, apa koko punya pacar atau tidak. Dia juga selalu antusias kalau dengar aku cerita tentang koko."
"Itu kesimpulan kamu sendiri saja kali..." Rita melirik ke arah Novi dengan bosan.
"Kemarin ini, waktu kakaknya Karen ulang tahun, kita sama-sama ke kamar Karen 'kan?"
"Ya ?" Denise tidak bisa menduga arah pembicaraan ini.
"Waktu Karen turun menemui kamu dan Dinda, aku 'kan cuma berdua sama Rita di kamar Karen."
"Terus?"
"Waktu mencari-cari majalah untuk dibaca di rak buku, aku nggak sengaja ketemu sebuah buku tulis yang cantik. Aku tarik keluar, ternyata Diary, dan dua foto jatuh ke lantai. Tebak itu foto siapa ?" Mata Novi membelalak dan bibirnya setengah tersenyum. Ekspresinya seperti seorang pesulap yang sebentar lagi akan menarik keluar kelinci dari topinya.
"Siapa ?" Denise jadi terbawa. Novi ini memang bawel dan pandai bercerita.
"Foto koko-ku !"
"Ah...dia dapat dari mana ?"
"Foto waktu kecil. Foto mereka berdua! Buat apa coba dia simpan benda seperti itu. Dua lembar lagi ! Kami dulu sering main sama-sama. Ada banyak foto kami bertiga dan juga foto aku dan Karen. Tapi yang aku lihat kemarin itu cuma foto mereka berdua! Ke mana foto yang lainnya? Pasti dia pisahkan dari foto-foto lainnya karena foto itu berarti khusus untuknya."
"Kok aku nggak tahu? Aku 'kan ada di kamar dia juga waktu itu ?" Rita masih tidak puas.
"Yaaaaah....kamu 'kan tiap kali main ke rumah Karen, dari datang sampai pulang main game terus." Rita tertawa serak lagi. Ia menengadahkan kepalanya ke belakang dan mengibaskan rambutnya dengan satu sentakan elegan.
"Tapi jangan bilang-bilang Karen yah...dia bisa marah...dia 'kan orangnya gengsi-an. Hihihi..." Novi terkikik. Selama ini ia pikir tiga sekawan itu benar-benar teman akrab. Tapi ternyata, hubungan mereka tidak sama dengan dirinya dan Dinda. Semua punya kepentingan masing-masing.
Gambar Fake Friends diambil dari https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/236x/84/74/42/847442ef4d6618bcfd14563c79ddf0e3.jpg
Gambar Blueberry Scone diambil dari https://i.kinja-img.com/gawker-media/image/upload/yvwetorzhn0ipfxgphpt.jpg
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Mana Negeriku
Historical FictionHi Guyz, Does my name ring a bell? Hopefully yaaa.. Saya penulis Omiyage, Sakura Wonder, Only Hope dan Wander Woman. Ini pertama kalinya saya posting naskah di Wattpad. Berbeda dengan novel yang begitu diterbitkan lepas hubungan, di Wattpad, saya te...