Skandal

506 58 10
                                    


Sebuah skandal kemudian terkuak. Di saat buruh bersatu dan menganggap perusahaan adalah musuh, A Pek mengusulkan untuk mengadakan malam penghargaan untuk menunjukkan rasa terima kasih atas pengabdian mereka selama ini. Ini diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan buruh pada perusahaan. Mbak Mulyani, dengan melihat daftar absen, mengusulkan tiga nama: Marjuki, Safiun dan Khotib. Mereka bertiga jarang absen dan masing-masing sudah bekerja lebih dari sepuluh tahun. A Pek dan Papa sudah merencanakan untuk mengadakan malam penganugerahan yang dimeriahkan dengan makanan dan musik. Marjuki, Safiun dan Khotib pun dipanggil ke kantor A Pek untuk diberitahu sebelumnya.

Ketika Mbak Munah, pembantu kantor, disuruh mencari ketiga orang ini dari pabrik, ia hanya kembali dengan dua orang. Safiun dan Khotib. Mbak Munah tidak berhasil menemukan buruh bernama Marjuki. Ke mana pun ia bertanya tidak ada yang tahu siapa Marjuki. Setelah diusut, ternyata tidak pernah ada yang bernama Marjuki! Selama sepuluh tahun lebih, Mas Eko, kepala personalia telah menciptakan Marjuki untuk menerima gajinya. Terlebih lagi, Marjuki bukan hanya satu-satunya ciptaan Mas Eko, ada juga Zaini yang sudah bekerja selama empat tahun dan Kusnadi yang bekerja selama tiga tahun. Setiap hari Jumat, adik dan saudara Mas Eko datang ke pabrik untuk mengambil gaji atas nama orang-orang ini. Keberhasilan Mas Eko atas Marjuki membuatnya berani menciptakan Zaini dan Kusnadi. Tapi ia kurang cermat. Mas Eko terlalu serakah untuk membuat tokoh-tokohnya absen. Marjuki, Zaini dan Kusnadi tidak pernah tidak masuk. Gaji mereka selalu full.

Ini membuat seluruh kantor shock. Mas Eko bukanlah orang baru. Ia sudah bekerja dua belas tahun lamanya, asset kantor yang berharga. Ia juga dikenal punya kharisma yang membuat buruh-buruh menyukainya. Setiap kali ada masalah dengan buruh, Papa hanya perlu mengirim Mas Eko dan semuanya pun beres. Yang paling terpukul tentunya Papa dan A Pek. Mereka dikhianati orang kepercayaan mereka sendiri. Dua belas tahun, waktu yang demikian lama, ternyata tidak cukup membuat Mas Eko merasa dirinya sebagai bagian dari perusahaan ini. Di bawah hidung mereka, Mas Eko setiap hari menandai kartu absen, mencuri seribu dua ribu perak dari kas perusahaan. Papa dan A Pek hanya butuh waktu satu jam untuk memutuskan bahwa Mas Eko sudah tidak dibutuhkan lagi. Ia dipecat tanpa pesangon dan surat rekomendasi. Mengingat uang yang ia curi selama ini tidak ditagih, perlakuan itu boleh dibilang adil.

Bagi Denise dan para staff, kejadian ini merupakan gosip hangat yang membumbui hari-hari mereka yang membosankan. Tapi untuk Papa, kejadian ini seperti serangan jantung.

Belum lama kejadian itu lewat, muncul lagi masalah baru. Salah satu supplier, perusahaan yang membuat roda koper, tutup. Perusahaan itu bangkrut. Dikejar deadline order dari luar negeri, Papa tunggang langgang mencari pengganti supplier roda. Setelah dua minggu terbuang tanpa bisa mengerjakan pesanan, akhirnya Papa menemukan supplier pengganti. Tentu saja, karena mereka tahu situasi Papa yang terjepit, harga yang mereka minta lebih mahal. Papa terpaksa merogoh kocek perusahaan lebih dalam untuk membeli roda dari supplier baru ini, dan sekali lagi, karena harus membayar penalti kontrak akibat tidak bisa memenuhi pesanan tepat waktu.

Kemudian masalah kesejahteraan buruh kembali mencuat. Efek dari malam penghargaan untuk buruh teladan tidak bertahan lama. Kali ini buruh-buruh honorer pun bersatu dengan buruh tetap dan mereka meminta kenaikan gaji.

Minggu itu diawali dengan kesunyian. Hari Senin pagi, sewaktu tiba di kantor bersama Papa, pabrik begitu sunyi.

"Pada ke mana orang-orang?" Tanya Papa pada SATPAM yang menyambutnya.

"Mogok, Pak. Hari ini cuma staff yang masuk."

"Apa?!" Papa langsung turun dan menghilang. Denise masuk ke dalam kantor seorang diri. Para staff juga tampak kebingungan.

Di Mana NegerikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang