Pemeran Utama

479 55 6
                                    


(Yunus Deng)

Koko menjelaskan perhitungannya dengan bersemangat. Burhan meninggalkan kami berdua untuk berdiskusi dengan leluasa.

"Bo pan fat liau." *32) katanya. Aku menunduk lemas. Ia berniat menjual tanah perusahaan di Malaysia. Tanah yang aku cari berbulan-bulan dan kubeli dengan tawar-menawar yang berlangsung dengan liat. Tanah itu adalah tumpuan harapan kami. Kondisi bisnis Indonesia yang tidak menunjang membuat kami berencana untuk pindah. Kami tabung uang sedikit demi sedikit, tidak jarang dengan mengorbankan yang lain-lain. Kami hanya membeli mobil, truk, dan mesin bekas. Walau sebenarnya ini merugikan kami sendiri. Mobil dan mesin yang sudah lama justru lebih rewel, sedikit-sedikit harus di-servis, lagi-lagi duit!

"Tapi kita mau dapat duit dari mana lagi?!" Koko membela keputusannya dengan gigih. Aku menghela nafas panjang.

"Ya..ya..aku tahu.." Aku masih butuh waktu untuk mencerna perhitungannya. Koko memang punya keahlian matematis yang tinggi. Dia tidak pernah menginjak bangku kuliah, tapi sejak kecil dia membantu Mama menghitung pemasukan dan pengeluaran rumah tangga.

Ide Koko adalah, mencairkan uang kami yang sekarang tertanam di Seberang Perai dalam bentuk tanah. Uang itu akan memberikan kami waktu yang cukup lama untuk tidak memusingkan gaji buruh lagi. Plan B, kalau tidak terjual dalam waktu cepat, terpaksa kami akan meminjam uang dari bank dan menjadikannya sebagai jaminan. Tentu saja ini skenario yang tidak diharapkan, karena bank akan menghargai tanah itu di bawah harga pasar. Tapi, di saat krisis seperti ini, siapa yang mau beli tanah seluas tiga hektar?

Dengan menaikkan gaji sebesar sepuluh persen dan membatasi jumlah THR yang diterima, secara keseluruhan, kami tetap akan mengalami pembengkakan ongkos produksi. Tapi setidaknya masih bisa ditoleransi, dengan spekulasi ekonomi global akan membaik, tentunya. Memang, selalu ada kemungkinan ekonomi tidak pernah akan pulih, dan malah menurun. Tapi kami kepepet. Untuk memikirkan hal-hal yang negatif pun tidak sempat!

Koko memang cerdik. Ia tahu kalau buruh akan menyambut gembira kenaikan gaji, apalagi dengan iming-iming dinaikkan dalam waktu seminggu! Kegembiraan mereka itu tentunya bisa meredam ketidakpuasan akan pemotongan THR. Ini bukannya adu licik, tapi negosiasi!

"Sudahlah. Ayo kita pulang. Mereka pun sudah pulang." Koko menepuk bahuku. Punggung ribuan buruh bergerak menjauhi kami di bawah temaram lampu pabrik, berbondong-bondong melalui pintu gerbang. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Aku baru ingat kalau belum menghubungi Mei Fang sama sekali. Tentu dia sudah khawatir.

"OK, wa tui seng." *33) Hari itu aku sampai di rumah jam tujuh, tidak terlalu malam. Tapi rasanya, dalam satu hari itu aku telah menggunakan tenaga dan pikiran yang jauh lebih banyak daripada dua puluh lima tahun bekerja untuk koper Prime.


Walaupun mereka khawatir setengah mati, Papa pulang dalam keadaan tidak kurang suatu apa pun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Walaupun mereka khawatir setengah mati, Papa pulang dalam keadaan tidak kurang suatu apa pun. Mama menyerbu Papa begitu ia masuk, memeluknya, menangis sampai tubuhnya terguncang-guncang. Papa menenangkan Mama dan mengecup keningnya. Seumur hidup, baru sekali ini Denise melihat ungkapan cinta yang begitu terus terang di antara mereka berdua. Air matanya menetes. Melihat keduanya berpelukan, ia jadi sadar bahwa dirinya hanyalah pemeran pembantu. Papa dan Mama adalah bintang utamanya. Ia dan kakak-kakaknya hanya kebetulan lahir di tengah mereka, memperkaya kisah cinta keduanya. Benaknya melayang pada ayah Dinda yang menyulap ruang tamu jadi kamarnya, pada ibu Dinda yang buruk rupa. Mereka juga pernah jadi pemeran utama cerita indah mereka sendiri. Dulu.

"Kalau memang perusahaan sanggup menaikkan gaji buruh, kenapa tidak Papa lakukan dari awal? Kenapa harus menunggu sampai mereka rusuh dulu?"

"Perusahaan sebenarnya tidak sanggup, Sun. Kami sepakat untuk menggunakan uang perusahaan yang sebenarnya dialokasikan untuk hal lain dulu, sementara itu, A Pek akan berusaha menjual tanah yang di Malaysia." Papa mengeluarkan desahan putus asa, "Haah....Entah sampai kapan bisnis ini bisa bertahan." Papa duduk di sofa. Mama memandangnya dengan tidak lepas-lepas. Seakan takut Papa tidak kembali lagi.

"Tapi katanya pabrik mau dipindah ke sana? Katanya iklim bisnis di sana lebih kondusif?"

"Ya, itu memang rencana kita semula. Tapi untuk pindah pun kita tidak punya cukup uang. Tanah di sana harus dibangun jadi pabrik yang siap pakai. Bayangkan berapa milyar yang harus dikeluarkan."

"Apa boleh buat. Lama-lama, kalau tidak menguntungkan dan hanya bikin pusing saja, kita tutup saja." Papa mendesah panjang. Ia tampak lelah. Lelah sekali.

"Tidak apa-apa. Biar saja pabrik bangkrut. Yang penting kamu selamat." Mama meraih tangan Papa dan meletakkannya di pangkuannya. Denise tersipu.

"Sekarang, masalah pabrik sudah selesai. Kita bisa mulai memikirkan green card." Papa menepuk-nepuk punggung tangan Mama yang halus.

Kesibukan Papa di kantor membuatnya hampir lupa bahwa mereka harus segera berangkat ke Amerika. Kalau dalam tiga bulan ke depan mereka belum juga menginjakkan kaki di sana, Green Card yang sudah ditunggu-tunggu selama sepuluh tahun itu akan hangus.

Setelah kerusuhan di kantor, Denise dilarang ikut Papa ke kantor lagi.

"Papa bisa mati berdiri kalau sampai kamu kenapa-kenapa." Tegasnya. Denise menurut. Ia juga enggan kembali. Setiap hari ia isi dengan menyiapkan kepergiannya. Denise ikut Mama berbelanja baju-baju tebal yang akan mereka perlukan di Amerika nanti.

"Nanti di sana kita bisa hidup dengan aman. Amerika itu negara imigran. Semuanya pendatang. Tidak akan ada orang-orang pribumi yang membenci kita lagi." Mama terdiam sebentar.

"Mama tidak akan pernah ketakutan sendirian di rumah, menunggu suami dan anak-anak yang belum tentu pulang." Lanjutnya.

Papa, sementara itu, bertambah sibuk. Perbaikan kaca jendela kantor yang rusak harus dimandori. Perhitungan kenaikan gaji buruh harus diawasi. Surat-surat untuk keberangkatan mereka juga harus disiapkan.

Ci Felice, yang masih ada di Penang, bersikap acuh tak acuh.

"Yah...asal kuliahku sudah selesai sih, aku mau saja pergi." Tanggal ujian akhir Ci Felice belum ditentukan. Ia khawatir kalau harus pergi sebelum selesai mengikuti ujian. Ci Felice sudah belajar mati-matian dan membanting tulang magang di hotel selama dua tahun ini.

Denise sendiri, bersikap skeptis. Ia pernah belajar di Penang, ia pernah tinggal di Beijing. Keduanya pernah menjadi kandidat tanah air barunya. Tetapi selalu saja ada yang membuatnya kembali ke Jakarta. Kalau Mama dan Papa menganggap ini adalah kesempatan besar untuk mengubah masa depan, untuknya, perjalanan ini tidak ubahnya dengan acara jalan-jalan.

Hatinya masih tertinggal di Beijing. Ada bagian penting dari dirinya yang tidak pernah kembali. Bahkan setelah tahu Panjul punya pacar baru pun, ia masih tetap berharap. Cepat atau lambat Panjul akan menghubunginya. Memintanya kembali.

Gambar anak saya untuk kalender 2017

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gambar anak saya untuk kalender 2017. Saya sampai berpikir, mungkin kita perlu diserang makhluk luar angkasa dulu supaya bisa berhenti bertengkar satu sama lain. Apapun latar belakang kita, kita ini cuma satu race lho : human race

------

*32) Tidak ada cara lain

*33) Aku pulang dulu

Gambar meeting diambil dari https://static1.squarespace.com/static/5248ba22e4b031f96a67fddb/t/524acf5ee4b0240948aa5c32/1380634463405/Private+Meeting.jpg

Gambar suami mencium istri diambil dari http://media.istockphoto.com/photos/affectionate-latin-husband-kissing-wife-picture-id619655018?k=6&m=619655018&s=170667a&w=0&h=rAp5OmtvTQ_jPAIfcQUX7TA3q5MoxkIZbshBTfEJ6YA=


Di Mana NegerikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang