AADP - Ada Apa Dengan Panjul?

670 53 6
                                    


Bersama Panjul, selalu ada kejutan-kejutan menyenangkan, tetapi sering juga Denise dibuat merasa tidak aman. Kadang-kadang Panjul bisa menghilang tanpa kabar. Seharian penuh ia menanti Panjul tanpa hasil. Beberapa kali ia harus bertanya pada teman-teman Panjul untuk menemukannya. Pernah ia menemukannya keasikan main mahjang di kamar seorang teman. Panjul tidak minta maaf sama sekali. Di lain waktu, ia menemukan Panjul di lapangan basket. Panjul hanya tersenyum sambil melambai sebelum melanjutkan permainan. Tidak ada rasa bersalah sedikit pun. Ketika Denise protes dan memintanya selalu menghubunginya paling tidak sekali dalam sehari, Panjul menolak, "Aku nggak suka hidup menurut jadwal. Hidup itu cuma sekali. Kita harus ikuti apa kata hati kita setiap saat."

Mungkin Panjul belum terlalu merasa membutuhkannya. Denise menyerah. Ia berharap, seiring waktu, Panjul bisa menghargai kebersamaan mereka.

"Orang apa?"

"Cina. Orang Malang."

"Orang tuanya kerja apa? Umur 30 kok nggak kerja?"

"Mamanya punya spa. Dia disiapkan untuk mewarisi perusahaan. Jadi dia nggak cari kerja yang lain."

"Sudah berapa lama dia di Beijing?"

"Lima tahun."

"Belajar apa?"

"Belajar bahasa Mandarin, sama seperti Sun-sun."

"Kok lama sekali, ya? Bukannya gelar sarjana saja empat tahun? Apa dia ambil S2?

"Nggak sih, Ma. Ada beberapa pelajaran yang harus dia ulang."

"Siapa yang biayain? Tabungan dia sendiri? Dulu dia pernah kerja?"

"Nggak, dia lulus kuliah di Surabaya terus ke sini. Mamanya yang bayarin."

"Sun," helaan nafas Mama terdengar jelas di kupingnya, " ini orang..... laki-laki, tiga puluh tahun, belum pernah kerja, sekolah nggak lulus-lulus, dibiayai penuh sama orang tua, memangnya nggak ada cowok lain apa?" 

Denise tersentak. Ia tidak pernah memikirkan Panjul seperti itu,"Mama kok jahat amat sih?!"

"Mama bukannya jahat. Mama cuma ingin kamu lihat kenyataan. Memangnya dulu dia di Surabaya kuliah apa?"

"Ekonomi." Jawab Denise pendek. Ia malas melanjutkan percakapan.

"Hmm...kalau lulusan ekonomi itu 'kan relatif gampang cari kerja, ya. Lagipula, kalau dia lima tahun yang lalu lulus kuliah langsung ke Beijing, itu berarti dia lulus di Surabaya waktu umur dua puluh lima. Bukannya orang biasa masuk universitas umur sembilan belas dan umur dua puluh dua, dua puluh tiga sudah lulus? Jangan-jangan dia dulu kuliah di Indonesia juga nggak lulus-lulus, ya?"

"Mama!" Denise sudah hampir menangis. Lebih baik Mama menghina dirinya daripada bintang penolongnya.

"Ya...bukannya kenapa-kenapa sih...Mama cuma melihat dari pandangan orang tua." 

Denise tetap tidak terima. Andai saja Mama tahu kalau Panjul sudah menyelamatkan dirinya dengan begitu heroik, tentu pendapatnya lebih baik. Tapi ia juga tidak mau membuat Mama kuatir dengan kisah petualangannya yang berbahaya di Si Ma Tai itu. Denise terpaksa diam.

Walaupun ia berusaha untuk tidak mengacuhkannya, akal sehatnya tidak bisa memungkiri jalan pikiran Mama. Ia sebenarnya juga ingin tahu latar belakang Panjul. Lima bulan sudah hubungan mereka berjalan, ia masih belum tahu jelas siapa Panjul sebenarnya.

Di Mana NegerikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang