Waktu berjalan sangat lambat. Sedikit demi sedikit, aula menjadi lebih lega. Denise dan Ci Felice bertahan di sekolah, menunggu dijemput. Untunglah sekolah memberikan murid-murid makan sekitar jam 4 sore. Nasi goreng berwarna pucat. Bukan makan siang, bukan pula makan malam. Tapi cukup untuk mengganjal perut dan mengisi kebosanan.
Tidak ada lagi bunyi sirene atau pun instruksi lebih lanjut. Murid-murid yang tersisa hanya menanti. Tidak ada kegiatan, obrolan juga sudah habis dibicarakan. Beberapa anak lelaki berbaring di lantai dengan kepala di atas ransel. Denise berharap ada sirene, atau sekaligus, bunyi ledakan. Apa saja yang bisa membantunya melewatkan penantian yang membosankan ini. Ci Felice sudah menelepon ke rumah sekali lagi. Tapi jawaban Mama masih tetap sama, "Tunggu di sana. Jangan ke mana-mana sampai Mama jemput!" Ia meletakkan kepalanya di bahu Ci Felice dan memejamkan mata.
"Sun, Sun-sun bangun!" Wajah Mama adalah yang pertama muncul di sela-sela kelopak matanya.
"Ayo kita pergi!" Diliriknya jam tangannya. Pukul sembilan malam! Hampir dua jam sudah ia tertidur!
Mereka dijemput oleh mobil kantor, bukan mobil Papa. Pak Syarif yang memegang kemudi, bagasi mobil dipenuhi koper.
"Kita mau ke mana?" tanya Ci Felice bingung.
"Ke Singapur, ke rumah I I Fei-Fei. Kita ngungsi dulu ke sana untuk sementara." Mulut Denise menganga.
"Memangnya keadaannya separah itu? Sampai kita perlu mengungsi?"
"Seumur-umur tinggal di Indonesia, belum pernah Papa setakut ini." Dahi Papa berkerut-kerut.
Papa dan Mama juga sempat mendengar sirene dari rumah. Dari jendela loteng yang menghadap ke jalan besar, Mama menyaksikan rombongan massa di kejauhan yang mencoba membobol pertokoan, namun di tengah aksi, belasan tentara datang dan mengusir dengan tembakan ke udara. Semua penghuni kompleks berkumpul di pintu gerbang, membawa surat-surat dan barang berharga. Telepon genggam Papa berdering terus. A Pek, A Bun Cek dan saudara-saudara Mama menanyakan keadaan mereka.
"Kita berdua sudah hampir pergi ke rumah A Pek. Warga di sana menyewa beberapa mobil tentara untuk menjaga daerah mereka. Tapi orang-orang kampung dan SATPAM melarang kita keluar ke jalan besar. Jadi kita tertahan di dalam." Warga kampung di sekitar kompleks memagari mulut gang dengan kursi-kursi dan perabot seperti sofa dan lemari. Mereka jugalah yang berdiri paling depan, menggenggam pisau dapur dan golok. Seorang ulama, yang tampaknya adalah pemimpin agama di mesjid dekat rumah, mengorganisir semuanya. Mikrofon mesjid ia gunakan untuk memberi instruksi pada warga sekitar.
"Ah...tapi nggak semuanya seperti itu!" Mama menyambung dengan penuh emosi, "Dari jendela di loteng, kita melihat orang-orang yang menggotong televisi dan speaker. Mana kita tahu itu bukan orang-orang kampung di belakang rumah kita juga? Untungnya mereka menjarah di tempat lain. Mungkin karena masih solidaritas sama kita, tetangganya!" Ucapan Mama tidak disambung lagi oleh Papa. Walaupun ini fakta, pembicaraan sudah menjurus ke isu SARA. Mama melirik ke arah Pak Syarif dengan gugup.
"Sudahlah..belum tentu kejadiannya seperti itu. Berita masih simpang siur." Sahut Papa. Tidak ada lagi yang menyambung percakapan itu.
Kengerian mencekam ketika mereka melewati toko-toko dan gedung yang rusak. Lubang-lubang kecil memecah kaca, bekas lemparan batu. Jejak hitam api mengotori tembok gedung. Beberapa mobil yang hancur ditinggal tuannya. Ada yang terbalik, ada yang badannya dirusak. Serpihan kaca mobil bergemeretak tergilas ban mobil.
Tidak ada kemacetan dan kesemrawutan yang biasa menghiasi malam-malam sibuk kota metropolis. Jakarta seperti kota hantu. Beberapa mobil yang ada melaju dengan kecepatan tinggi, terbirit-birit menyalip mereka. Ci Felice mengerang kesal begitu mereka melewati pintu tol bandara. Macet total!
Setelah lalu lintas yang merangkak selama dua jam lebih, Papa memutuskan mereka sebaiknya turun dan menggeret koper sampai ke pintu masuk, sama seperti banyak orang lainnya yang turun begitu saja di jalan dan meninggalkan supir dan mobil yang masih terjebak macet.
"Makasih ya, Rip. Hati-hati pulangnya. Kalau ada apa-apa tancap gas saja."
"Baik, Pak. Makasih Pak." Pak Syarif mengangguk sambil menerima tip yang Papa selipkan ke tangannya.
Setelah terperangkap di rumah, tidak bisa pulang dari sekolah, dan terjebak macet , inilah yang harus mereka hadapi berikutnya. Lautan manusia memadati bandara. Soekarno-Hatta bagaikan kamp pengungsi. Tua, muda, perempuan, laki-laki dan bayi-bayi duduk di lantai bandara dengan barang bawaan mereka. Banyak yang masih mengenakan seragam sekolah seperti Denise. Ada yang tidur dengan lutut yang terlipat, ada yang bersandar di koper. Beberapa keluarga bersusah payah menggeret koper sambil mencari jalan di tengah padatnya manusia.
Semuanya, Cina.
----------
Gambar Airport diambil dari http://www.thejakartapost.com/news/2015/07/06/short-circuit-possible-cause-airport-fire.html
Gambar Jalan diambil dari http://www.gettyimages.com.au/detail/news-photo/riots-in-jakarta-on-may-14th-1998-in-jakarta-indonesia-news-photo/113425676
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Mana Negeriku
Historical FictionHi Guyz, Does my name ring a bell? Hopefully yaaa.. Saya penulis Omiyage, Sakura Wonder, Only Hope dan Wander Woman. Ini pertama kalinya saya posting naskah di Wattpad. Berbeda dengan novel yang begitu diterbitkan lepas hubungan, di Wattpad, saya te...