Felice Deng
Aku masih tidak bisa terima kenapa aku harus duduk di kelas yang membosankan seperti ini. Belajar bahasa Inggris, matematika dan ekonomi!
Matematika?! Bukankah Mama memasukkanku dulu ke sekolah kejuruan supaya aku bisa mempelajari hal-hal yang kusuka dan tidak terus-terusan pulang membawa nilai merah?
Ini lagi-lagi gara-gara Papa. Dalam masa singkatnya di sini, Papa dengan segera mendaftarkanku dan Denise ke sekolah persiapan universitas. Siapa yang mau masuk universitas?! Mungkin Sun-sun, tapi bukan aku. Bukankah Papa sendiri yang mendaftarkanku ke akademi perhotelan?! Bagaimana sih Papa itu...selalu saja melakukan sesuatu cepat-cepat, maunya segera selesai. Bukannya berpikir masak-masak terlebih dahulu! Papa mendaftarkanku ke sekolah ini karena ini dulu bekas sekolah Ko Halim dan karena Sun-sun juga didaftarkan ke sekolah ini. Duduk diam di kelas menyelesaikan soal-soal integral seperti ini, mengingatkanku kenapa aku benci sekolah. Kenapa kita diajarkan untuk melakukan hal-hal yang tidak ada gunanya di kehidupan sehari-hari?
Tidak ada yang tahu kenapa aku akhirnya setuju untuk pergi ke Amerika tanpa mengantongi ijazah. Sun-sun pernah bertanya beberapa kali, tapi aku malas menjawabnya, aku merasa masih belum perlu memberi tahunya. Untuk apa? Yang penting aku sudah di sini, sesuai keinginan Papa. Begitu 'kan?
Ini sebenarnya gara-gara Ci Suci. Waktu itu aku mengunjunginya di tempat kosku yang dulu. Kadang-kadang aku pergi ke sana untuk menemui teman-teman lama.
"Halo ? Oh.."
Kami sedang asyik ngobrol ketika telepon berdering. Suaranya begitu nyaring di rumah yang kosong. Sabtu siang itu, semua orang punya acara masing-masing. Hanya aku dan Ci Suci yang ada di rumah waktu itu.
"Hmm...Ya? Kenapa?!" Suara Ci Suci dan raut mukanya langsung berubah masam.
"Ya, iya...ada..cepat, aku mau pergi lagi!" Ci Suci setengah membanting gagang telepon.
"Siapa?" tanyaku.
"Bokap!"
"Oh..." Aku pernah bertemu dengan Papa Ci Suci waktu masih tinggal di sana. Laki-laki pengangguran yang diceraikan istrinya berbelas-belas tahun yang lalu. Mama Ci Suci meninggalkan kampung halamannya untuk menikah dengan pria Malaysia ini. Mungkin dia dulu hanya gadis naïf yang terbutakan cinta, dan tentu saja, iming-iming petualangan. Malaysia hanyalah sejengkal jaraknya dari Medan. Cocok untuk mencicipi kehidupan lain yang eksotis, tapi cukup dekat untuk berlari pulang kalau ada apa-apa.
Mimpi indahnya buyar ketika ia tahu suaminya lebih baik. Mo yung. Orang yang tidak berguna. Mereka bercerai ketika Ci Suci masih kecil. Sebenarnya bisa saja Mama Ci Suci pulang ke Medan. Tapi pada saat itu dia sudah punya bisnis ekspor impor yang lumayan menguntungkan sehingga ia memutuskan untuk menetap.
Walaupun sudah berpisah, tapi suaminya terus saja merongrong Mama Ci Suci untuk meminta uang. Entah ke mana uang itu, bilyar, miras, judi, perempuan mungkin? Sejak Mama Ci Suci meninggal empat tahun yang lalu, rongrongan itu pun diarahkan pada Ci Suci, anak tunggalnya yang sudah punya penghasilan.
"Tidak tahu malu!"
Aku hanya diam. Ci Suci membuka lemari mencari-cari uang untuk diberikan.
Aku diam di kamar ketika setengah jam kemudian Papa Ci Suci datang. Aku tahu ini saat-saat privat. Seperti biasa Ci Suci akan menyerahkan uang sambil mencaci-maki Papa-nya. Lebih baik pura-pura tidak ada.
"Sampai kapan aku harus kasih makan Papa? Sampai Papa mati?!"
"Pantas Mama menceraikan Papa. Tidak tahu malu minta-minta uang sama anak sendiri!"
"Aku malu punya orang tua seperti Papa!"
Ci Suci mencaci maki dalam bahasa Hokkian. Inilah efek buruk dari menguasai bahasa baru, mengerti percakapan yang tidak ingin kudengar.
Makian yang Ci Suci lontarkan begitu keji. Papa Ci Suci diam saja. Tidak membantah, malah mengiyakan dalam kesunyian.
"Papa, PAPAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!!" Tiba-tiba Ci Suci berteriak. Aku terkejut, tapi takut. Aku hanya mengintip dari sela-sela pintu.
"FELICEEEEEE!! TOLOOOOOONGG!" Aku pun keluar. Genangan air kekuningan mengalir dari celana panjang Papanya.
"Papa..papaaAAAA!" Papa Ci Suci meringkuk di lantai. Tangannya yang meremas dadanya. Ia sudah tak sadarkan diri. Jantung! Aku segera menelepon 999. Ci Suci masih melolong sambil mengguncang-guncang tubuh Papa-nya.
"Papa, papa.." Ci Suci terus memegangi tangan Papanya. Tangisnya meledak ketika dokter melarangnya masuk ke UGD. Aku duduk di sampingnya. Tidak ada yang bisa kami lakukan selain menunggu.
Setelah hampir setengah jam berlalu seorang suster keluar, "Miss Ng?"
"Yes?"
"I'm sorry, we lost him."
"NOO!!" Wajah suster itu biasa saja. Entah berapa kematian sudah yang ia umumkan hari itu.
"Ini adalah serangan jantung yang ketiga."
"No! That's not possible. Dia tidak pernah bilang apa-apa!"
"Mungkin dia tidak mau kamu khawatir. Papa mu ini sudah lama berobat ke sini.""
"Oh.." Ci Suci pucat pasi. Suster rumah sakit itu lebih mengenal Papa-nya.
Ci Suci melewati hari itu dengan linglung. Begitu banyak yang harus ia lakukan. Jenazah Papa-nya diatur untuk langsung dikremasikan tanpa disemayamkan terlebih dahulu.
"Aku tidak tahu siapa teman-temannya. Aku tidak tahu harus memberitahu siapa saja. Aku...aku tidak tahu apa-apa tentang dia.." Air mata Ci Suci mengalir dari sela-sela jari yang menutupi wajahnya. Aku menepuk-nepuk punggungnya. Aku berharap bisa menangis untuk menunjukkan simpatiku, tapi tidak bisa. Semuanya begitu cepat terjadi. Anak yang memaki Papa-nya, serangan jantung, dan ....kematian.
Yang tertinggal hanya tangis Ci Suci yang tak henti-hentinya. Sampai akhir hidupnya Ci Suci salah sangka kalau uang yang selama ini ia berikan dipakai untuk foya-foya, padahal, habis menguap untuk pengobatan.
Aku teringat Papa.
Aku jauh beruntung. Papa-ku bisa mencari nafkah dan selalu memikirkan kesejahteraan kami. Kurang apa lagi?
Aku memutuskan untuk pulang. Aku tidak ingin mengalami penyesalan yang sama. Papa jauh lebih penting dari selembar ijazah. Aku masih muda, bisa sekolah lagi, belajar apapun yang aku mau.
------
Gambar Plan B diambil dari http://images3.privateschoolreview.com/article/462x462/0/230/5-Reasons-Why-You-Might-Change-Schools-xEAOa8.jpg
Gambar pria terkapar diambil dari http://sciencenordic.com/sites/default/files/imagecache/440x/cpr%20first%20aid%20safe%20life%20and%20job.jpg
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Mana Negeriku
Historical FictionHi Guyz, Does my name ring a bell? Hopefully yaaa.. Saya penulis Omiyage, Sakura Wonder, Only Hope dan Wander Woman. Ini pertama kalinya saya posting naskah di Wattpad. Berbeda dengan novel yang begitu diterbitkan lepas hubungan, di Wattpad, saya te...