Yunus Deng
Sun-sun, berkata kalau orang-orang Cina harus bangkit dan bersatu untuk memperjuangkan haknya. Membuktikan bahwa kita bukan hanya mengeruk keuntungan tapi juga berniat membangun Indonesia. Hah! Dapat ide dari mana anak itu! Dasar anak muda! Sudah disekolahkan jauh-jauh, yang didapat hanya idealisme picisan. Mungkin seharusnya memang aku biarkan ia tinggal di Indonesia supaya matanya terbuka.
Siapa bilang aku tidak cinta negara ini? Dengan mencurahkan segala usaha supaya perusahaan menghasilkan untung, aku sekaligus memberi nafkah ribuan buruh. Mereka bisa mengisi perut anak-anaknya, membelikan baju dan perhiasan untuk istrinya, membeli sawah di kampungnya, membangun rumah yang pantas untuk orang tuanya? Trickle down effect. Satu orang untung akan menguntungkan banyak orang lagi. Demikian pula kesialan. Begitu perusahaan ini bangkrut, bukan aku saja yang kena akibatnya, tapi ribuan mulut!
----------
Denise menikmati masa liburnya di Jakarta to the fullest. Kalau dulu Mama dan Papa suka cerewet membatasinya menelepon teman. Sekarang, berhubung sedang liburan, mereka membiarkannya. Sekolah di luar negeri ternyata ada untungnya juga, kalau pulang diperlakukan seperti tuan puteri! Belum lagi makanan-makanan kesukaan yang selalu Mama sediakan tiap hari untuknya.
Satu hal yang membuatnya excited, sekaligus sedih, adalah kenyataan kalau Dinda sekarang sudah punya pacar. Selama ini, dalam surat-suratnya dia selalu mengumbar kata 'kangen' dan 'rindu' pada Denise, tapi kenyataannya, setelah ia sampai di Jakarta, Dinda bahkan sulit ditemui. Denise maklum, kalau ia bukan lagi teman terdekat Dinda, tapi tak lebih dari bagian masa lalunya. Dinda harus ikut rapat di kampus, harus ketemu dosen pembimbing, harus memberikan les matematika, harus ikut acara keluarga, dan yang paling membuatnya geregetan ialah, dengan kesibukannya yang demikian padat itu, Bima, seorang pemuda yang bahkan belum pernah ia lihat mukanya, bisa saja diselipkan dalam jadwal Dinda, sementara dirinya tidak!
Setelah seminggu mereka berleha-leha di rumah, Mama pun mulai gatal. "Anak gadis jaman sekarang, pemalas semua! Jangan bersantai-santai terus, kerja sedikit dong! Itu kamar sudah seperti tempat pembuangan sampah! Pokoknya malam ini harus sudah rapi!"
Denise pun terpaksa membereskan kamarnya. Mulailah ia keluarkan semua isi lemarinya. Ia lipat kembali bajunya satu-satu, ia pisahkan beberapa yang sudah tidak dipakai lagi, untuk disumbangkan, dan Denise pun berdecak puas ketika lemarinya tampak sedikit lebih lega.
Kemudian ia merambah ke laci meja belajarnya yang penuh dengan barang pernak-pernik (a.k.a. 'sampah'). Diraihnya kulit-kulit kerang yang ia bawa pulang dari Pantai Carita, memori karyawisata waktu masih SD, pita-pita bekas hiasan kado yang ia simpan karena ia selalu berpikir kelak bisa digunakan kembali, hiasan rambut yang hilang manik-maniknya, gunting kuku yang sudah tumpul, dan hei! Apa ini? Sebuah kantung kertas kecil yang berat ia raih dari pojok laci. Dan..ah! Jam-jam tangan kesayangannya! Swatch, Baby G, Fossil, dua di antaranya sudah tidak bergerak, warnanya pun sudah agak kuning kehijauan. Tapi di matanya, ini emas permata yang tiada duanya, berkilauan dengan kenangan masa lalu. Ia bertanya-tanya kenapa jam-jam ini tidak terbawa olehnya dulu, dan Denise pun ingat bagaimana mereka sekeluarga dengan kalap memasukkan segala sesuatunya ke dalam koper tanpa berpikir sewaktu mengungsi.
Rasanya baru kemarin ia bersitegang dengan Mama untuk mendapatkan jam-jam bermerk ini, dan mereka mendongkraknya dengan seketika jadi kaum jetset sekolah. Ia ingat senyum angkuh Karen, lirikan kode-kode Novi, kotak pensil yang mendarat di muka Ferry, semuanya!
Betapa hidup tak bisa diduga! Mereka begitu polos dan bahagia dulu. Begitu penuh cita-cita, begitu sibuk dengan urusan-urusan yang tidak penting. Betapa puasnya ia menjalani hari-harinya dulu, betapa ia took it for granted. Dulu ia diurus orang tua dan punya banyak teman. Makanan enak bisa didapat kapan saja, bukan sekedar oversized hamburger tanpa seni dan steak keras yang selalu nyelip di giginya seperti di Vegas. Sekarang, ia tak lebih dari tamu di kampungnya sendiri, hanya bisa sekali-sekali menikmati rasanya berada di rumah. Ingin rasanya ia memutar kembali waktu dan terjun dalam indahnya masa lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Mana Negeriku
Ficción históricaHi Guyz, Does my name ring a bell? Hopefully yaaa.. Saya penulis Omiyage, Sakura Wonder, Only Hope dan Wander Woman. Ini pertama kalinya saya posting naskah di Wattpad. Berbeda dengan novel yang begitu diterbitkan lepas hubungan, di Wattpad, saya te...