Jimin terdiam merenung sambil melemparkan beberapa batu disekitarnya. Tatapannya tak berarti. Hatinya terasa resah saat ini. Sahutan teman-teman hidupnya tak dianggap. Teriakan gembira mereka tak bisa menutupi kerisauan dirinya.
Ia hanya duduk. Berdiam diatas rel dibawah teriknya matahari. Samar-samar ia melihat seseorang datang membuatnya memicingkan mata.
Seorang gadis berkuncir satu datang. Wajahnya tak bersahabat. Ia berdiri didepan Jimin tanpa bersuara, membuat Jimin harus bangkit menyetarakannya.
Tanpa angin, sebuah tamparan dilayangkan tepat dipipi gembil miliknya. Ia meringis nyeri kemudian menatap gadis didepannya dengan marah. Namun ia tak ingin. Ia merasa bahwa ia pantas untuk mendapatkan tamparan tersebut.
"Kau benar-benar brengsek!" desis gadis itu. Tangannya hendak menampar kembali Jimin sebelum ditahan oleh tangan Jimin. Ia menatap tajam gadis didepannya tajam, meminta jawaban atas perlakuan tak sopan padanya.
"Mereka tersiksa karena kau!" Mata gadis itu berair. "Kau menelantarkan mereka, dasar kau bangsat!" umpat gadis itu penuh amarah.
"Mereka?" Jimin terhenti pada satu kata itu. Membuatnya berpikir lebih keras.
"Seulgi dan anak yang dikandungnya. Anakmu!"
Pernyataan itu menghantam Jimin. Ia tercekat kaku. "Anakku?"
"Katakan apa yang sebenarnya terjadi?!" seru Jimin. Matanya memerah. Nafasnya beradu tak teratur.
"Apa kau bodoh?! Seulgi hamil!" teriak gadis itu. Jimin menegang. Akalnya seakan berhenti.
Dicengkramnya kuat kedua bahu gadis didepannya. "Dimana dia!!? Aku harus menemuinya!! Aku harus bertemu dengan anakku!!" Jimin kelabakan, seperti orang gila.
"Kau tidak bisa..." Gadis itu menggeleng lemah. Matanya menyayu.
"Seulgi keguguran, pagi ini..."Mulut Jimin terbuka. Ia memandang tak percaya. "Kau berbohong, kan?"
"Pergilah. Dia membutuhkanmu..."
Tanpa berucap apapun, Jimin berlari dengan cepat menuju keberadaan Seulgi setelah gadis yang menamparnya tadi menyebutkan alamat yang dimaksud. Dia panik.
##
"3 bulan?"
Seulgi mengangguk lemas. Wajahnya kacau, menandakan bahwa ia sangat sedih.
"Ya Tuhan, Kang Seulgi, mengapa kau menyembunyikannya dariku selama ini?" Jimin mengusap wajahnya kasar. Ia frustasi.
"Aku tidak mungkin mengacaukan kehidupan liarmu, Jimin-ah..."
"Aku tidak peduli. Kau hidupku, Kang Seulgi. Kau hidupku..." Jimin mendekatkan wajahnya pada Seulgi, menciumnya tepat dikeningnya. "Aku benar-benar buruk untukmu, bukan?"
"Kau selalu yang terbaik, Jimin-ah..." Seulgi meneteskan airmata ketika ia memandang wajah Jimin lekat. "Aku selalu membayangkan ia akan setampan dirimu..." isaknya. Jimin menggenggam tangan Seulgi erat. Ia sangat merasa bersalah. Ia juga terpuruk. Ia hampir kehilangan orang yang berarti dihidupnya. Karena keegoisannya.
"Jika aku bilang aku ingin menjadikanmu sebagai pengantinku, apa kau bersedia?"
Seulgi terdiam kaku. Ia memandang Jimin tak percaya. "Apa yang kau katakan?"
"Seulgi, aku melakukan ini bukan karena aku merasa bersalah, tapi aku bersungguh-sungguh. Aku mencintaimu, menikahlah denganku..."