Jilid 69

1.9K 42 0
                                    

Pundak si pendeta kena ditikam. Si pendeta kaget dan kesakitan.

Namun waktu itu justeru orang tua itu menggentak pedangnya, maka terkoyak daging si pendeta. Darah menyembur keluar.

Tubuh si pendeta terhuyung, dia kaget dan kesakitan dengan tangan kirinya memegangi lukanya itu.

"Pendeta cabul, sekali ini kau harus mampus di tangan kami!" Teriak orang tua dengan pedangnya berkelebat-kelebat lagi menyambar si pendeta.

Pendeta itu tengah kesakitan, dia juga tengah kaget. Tapi melihat ancaman buat keselamatan jiwanya, dia mengelak ke sana ke mari cepat sekali. Dia berlaku gesit.

Cuma saja, pikirannya juga bekerja keras. Ia tengah memikirkan cara untuk meloloskan diri.

Ia tahu, percuma saja ia melayani terus lawan-lawannya itu. Kalau tokh dia bisa merubuhkan lawan-lawannya lebih banyak, tentu ia sendiri pun terancam oleh lawan-lawannya itu kemungkinan saja dia bisa terluka lebih parah.

"Baik! Kali ini Loceng mengampuni jiwa anjing kalian!" Teriak si pendeta bengis. "Nanti Loceng akan datang melakukan perhitungan.......!"

Setelah berkata begitu, ia mengelakkan dua serangan lawannya, kemudian menjejakkan kakinya. Dia telah melesat menjauhi diri, memutar tubuhnya dan kemudian berlari dengan mengempos gin-kangnya.

Orang tua itu mana mau membiarkan si pendeta meloloskan diri begitu saja. Terlebih lagi ia melihat si pendeta sudah berhasil dilukai, sehingga si pendeta niscaya tidak leluasa buat bergerak guna menghadapi mereka lagi.

Ia yakin, jika pertempuran itu berlangsung lebih lama lagi akhirnya dia bersama kawan-kawannya akan dapat merubuhkan si pendeta dapat membunuhnya. Maka ia membentak, "Mau lari ke mana kau?" sambil membentak begitu, dia mengejar.

Kemudian dia pun berseru kepada kawan-kawan: "Kejar.......! Mampusi keledai gundul itu!"

Tiga orang kawannya mengejar juga, sedangkan yang seorang, yang terluka, berdiri dengan muka pucat. Dia tidak ikut mengejar.

Pendeta itu berlari dengan pesat, akhirnya dia bisa melenyapkan jejaknya dengan masuk menerobos ke dalam sebuah rimba. Memang orang tua itu bersama tiga orang kawannya tak berani menyusul masuk ke dalam rimba tersebut.

Di dalam kalangan Kang-ouw memang terdapat pantangan, bahwa musuh yang lari masak ke dalam hutan, tak usah dikejar terus.

Si pendeta berlari terus menerobos ke dalam hutan itu. Matahari pagi mulai muncul sinarnya belum begitu terang. Fajar sudah menyingsing.

Akhirnya setelah merasa aman dan mengetahui lawan-lawannya tak mengejar lebih jauh, si pendeta menjatuhkan diri duduk bersila beristirahat di bawah sebatang pohon.

Hatinya penasaran bukan main. Coba jika saja malam itu ia tidak dengan perempuan cantik itu, jelas tenaganya tak akan berkurang.

Ia akan lebih baik lagi menghadapi lawan-lawannya. Justeru disaat tubuhnya tengah lemah, ia harus bertempur dengan lima orang lawannya yang memiliki kepandaian tidak rendah.

Setelah duduk mengasoh sejenak, si pendeta bangkit lagi. Ia melihat lawan-lawannya memang tidak mengejarnya. Ia menghela napas dalam-dalam.

"Hemmm, tentu mereka kaki tangannya Wie Taijin.......!" Berpikir si pendeta. "Lihatlah! Pu San Hoat-ong tidak akan menyudahi urusan sampai di sini saja. Akan ada buntutnya dan pembalasannya!"

Sambil menggerutu seperti itu, ia telah melangkah pergi ke luar dari hutan itu, untuk kembali masuk ke dalam kota.

Siapakah pendeta itu, yang cabul? Dia memang Pu San Hoat-ong, salah seorang dari empat orang Guru Negara yang bekerja pada Kaisar Tay Goan Kublai Khan!

Pendekar Aneh Seruling SaktiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang