10. Jeffry Pov

1.7K 265 79
                                    


Kemarin ga sempet update, mian!

Part ini dari sisi Jeffry yaaa
.
.
.


Aku menyandarkan punggung di sofa, menatap sekeliling rumah yang tampak sepi. Lebih tepatnya selalu sepi. Padahal aku tidak tinggal sendiri, tapi bersama anakku juga yang kini sudah berusia dua puluh tahun. Pandanganku berhenti pada sebuah figura foto yang terpajang di dinding. Aku tersenyum kecil, tidak pernah menyangka jika aku akan menggendong anakku sendiri di foto itu ketika berusia delapan belas tahun. Bersama Bianca aku memperoleh Arundaya Niscala Baruna. Sempat kecewa dan bingung saat Aru hadir di rahim Bianca, karena kami berdua yang sama-sama tidak siap. Bahkan saat itu, aku dan Bianca sempat berpikir untuk tidak memperjuangkan Aru. Tapi ketika aku dan Bianca pergi ke rumah sakit dan mendengar detak jantung Aru untuk pertama kalinya melalui mesin pemeriksaan kandungan, hati kami goyah. Percaya atau tidak, aku meneteskan air mata di samping Bianca, lalu mengatakan padanya jika kita harus memperjuangkan Aru, terlepas dari perasaan kami yang tidak saling mencintai.

Sembilan bulan kemudian Aru lahir, aku dan Bianca menjadi orang tua. Sayangnya, aku dan Bianca tidak banyak menghabiskan waktu bersama Aru. Aku bahkan tidak tahu di umur berapa Aru bisa berbicara dan memanggilku Papa. Aru lebih banyak menghabiskan masa kecilnya bersama baby sitter. Dan ketika Aru berumur tiga belas tahun, aku dan Bianca memutuskan berpisah. Kami berpisah secara baik-baik, tidak ada yang memperebutkan soal hak asuh anak atau harta gono gini. Karena yang kami inginkan hanya berpisah dan memulai hidup yang baru. Dan sepertinya aku sudah menemukan wanita yang tepat untuk menemani hari-hari baruku setelah tujuh tahun menjadi seorang duda. Dia Kabira, gadis berumur dua puluh tahun yang awalnya aku perkenalkan pada anakku.

Tapi aku rasa perjalanan cintaku dan Bira tidak akan berjalan mulus. Bukan maksud mendoakan, mengingat sikap Pak Vino yang sedikit tegas terhadap Bira, membuatku harus berusaha lebih keras lagi untuk menjadikan Bira pendamping hidupku. Selain Pak Vino, sepertinya aku memiliki saingan lain. “Aru,” panggilku ketika melihat dia masuk ke dalam rumah.

“Kenapa?” sahutnya tanpa menghampiriku.

“Sini, Papa mau ngomong,” pintaku.

Aru menurut, dia duduk di sofa seberangku. “Tadi Papa ketemu Bira di jalan, dia lagi nangis. Kamu tau gak alesan Bira kayak gitu kenapa? Papa sempet nanya sih ke dia, tapi dia gak mau ngomong,” tanyaku pada Aru, berpura-pura tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

“Gak tau,” balasnya. “Gak penting juga buat aku. Ada lagi gak Pa yang mau di tanyain? Aku mau ke kamar,” kata Aru.

“Perasaan kamu ke Bira gimana sekarang?”

“Bira menarik. Kayaknya aku suka sama dia.” Tepat dugaanku, Aru menyukai Bira.

“Mau menikah sama Bira?” tanyaku lagi.

“Gak untuk sekarang, mungkin nanti.”

Aku mengangguk paham. Terdengar lucu, sainganku adalah anakku. “Oh iya, katanya Papa di Milan seminggu. Gak jadi?” tanya Aru.

“Gak, di restoran tiba-tiba ada masalah. Papa harus pulang lebih cepat dari yang di jadwalkan.”

“Mama juga lagi di Milan, Papa ketemu?”

Aku mengangguk. “Emang yang punya acaranya juga ngundang Mama kamu.”

“Mama sama Om Maga ya Pa?” tanya Aru lagi.

“Iya.”

Kudengar Aru menghela napasnya. Wajahnya terlihat kecewa setelah mendapati kenyataannya. Aku tahu Aru masih berusaha membuatku dan Bianca kembali rujuk meski sudah tujuh tahun berlalu sejak perpisahanku dengan Bianca. “Udah ya Ru, ikhlasin. Mama udah bahagia sama Om Maga. Kita tunggu kabar baiknya aja dari mereka, Om Maga juga orang yang baik. Dan lagi kamu udah dewasa, pasti ngerti gimana perasaan Mama dan Papa sekarang.”

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang