84. Lulus

902 173 115
                                    

🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞
.
.
.

(JEFFRY POV)

Jantungku berdebar dua kali lebih cepat, mataku bergantian menatap ke arah panggung dan Bira yang berada di dalam barisan wisudawan. Di panggung sana, beberapa nama wisudawan yang lulus dengan predikat cumlaude dan summa cumlaude sudah disebutkan dan maju ke depan untuk menerima penghargaan. Kulihat Bira menundukkan wajahnya, kakinya bergerak gelisah, dia pasti sedang harap-harap cemas, menanti akankah namanya disebutkan juga untuk menerima predikat tersebut atau tidak. Sebetulnya aku tidak mempermasalahkan Bira dapat atau tidaknya predikat itu, karena bagiku Bira sudah melakukan yang terbaik yang dia bisa selama ini, bukan hanya sebagai mahasiswa, tapi juga sebagai istri dan ibu. Namun aku tahu, mendapatkan predikat sebagai cumlaude adalah impian Bira, dia sudah menantikannya sangat lama karena ingin membuktikan pada mertuaku, bahwa dia juga bisa membanggakan mereka, terutama Ayahnya.

Karena hal tersebut pula aku turut gugup, kuharap Bira bisa meraih impiannya.

“Papa, Mamoy napa?” tanya Al yang berada di gendonganku. Cara bicara Al sudah lebih jelas sekarang, mengingat umurnya sudah menginjak tiga tahun.

Aku tersenyum. “Gak apa-apa.”

“Cedih ya Pa?” tanya Al lagi. Dia kebingungan dengan ekspresi Bira yang tidak biasa.

“Enggak, kata siapa Mamoy sedih?” tanyaku.

“Mamoy dak cenyum. Mamoy kayak Al mau cucu.” Aku terkekeh pelan. Menurut Al, Bira terlihat sepertinya saat sedang menginginkan susu, cemberut dan hampir menangis. “Papa Al mau tulun.” Al meronta di gendonganku, kuturunkan dia agar tak rewel. Tapi tiba-tiba saja Al berlari, masuk ke barisan dan menggenggam tangan Bira.

“Al sini!” pintaku pelan.

Al memberikan gelengannya. Aku berdecak, akhirnya kuhampiri mereka berdua sambil menahan malu. Bayangkan, aku masuk ke dalam barisan para wisudawan yang berakhir mengundang perhatian dari mereka. “Maaf ya Yang. Ayo Al sama Papa.” Aku yang baru saja akan menggendong Al, tak jadi sebab Bira menahannya. Aku mengerutkan kening. “Kamu lagi wisuda lho Ra. Acaranya juga belum kelar, biar Al sama aku.”

“Gak usah Mas, Al sama aku aja. Lagian aku gak bakal dipanggil ke depan,” balas Bira terdengar putus asa.

Aku terdiam sejenak sebelum menjawabnya. “Sayang, selama beberapa tahun ini kamu udah ngelakuin yang terbaik untuk mencapai impian kamu. Aku percaya, kamu pasti bisa dapetin itu hari ini.”

“Kalau aku gagal?”

“Kamu gak pernah gagal di mata aku. Sekalipun kamu gak dipanggil maju, aku yang bakal memamerkan ke orang-orang gimana hebatnya kamu jadi istri, ibu, dan pelajar.” Aku memegang kedua pundak Bira. “Ra, aku tau gimana perjuangan yang kamu lewatin selama ini, kamu rela begadang sampai sakit, kamu bener-bener mendedikasikan waktu kamu untuk aku, Al, dan kuliahmu. Inget ya, gak ada usaha yang menghianati hasil, karena kamu udah melakukan yang terbaik, hasilnya juga pasti akan baik.”

Mata Bira berkaca-kaca. Kubawa dia ke dalam pelukanku. Tidak perduli dengan tatapan orang-orang terhadap kami berdua, yang terpenting Bira kembali mendapatkan keyakinan akan dirinya sendiri. Dan hal yang tidak terduga terjadi, nama Bira disebutkan sebagai salah satu wisudawan yang menerima predikat cumlaude. Dipelukanku, tangis Bira pecah, membuatku turut menangis bahagia. Namun segera kuurai pelukan itu agar Bira bisa maju ke depan. “Al sama Papa di sini, Mamoy mau ke depan,” kataku.

Bira menggeleng cepat. “Aku mau bawa Al ke depan.”

“Tapi Ra—”

“Ayo Al.” Bira tanpa malu berjalan bersama Al ke panggung. Alih-alih mendapat cibiran karena yang dilakukannya tidak biasa, Bira justru mendapatkan tepuk tangan yang meriah dan apresiasi dari banyak orang. Bahkan kepala administrasi akademik di depan sana menyanjung Bira karena bisa menyelesaikan program studinya dan mendapatkan predikat cumlaude di saat dia disibukkan dengan tugasnya sebagai ibu. Dan suasana dibuat semakin riuh, saat Al meneriakkan nama Bira di atas panggung.

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang