38. Sukma

1.4K 264 118
                                    

SELAMAT PAGI!!!
.
.
.

Sudah satu minggu ini aku berhenti bekerja. Tidak banyak kegiatan yang aku lakukan setelah berhenti dan justru hari-hariku semakin membosankan saja. Jika biasanya ada Kamal yang selalu menghiburku di saat bosan melanda dengan tingkah-tingkah konyolnya, maka sekarang tidak lagi, yang aku lakukan untuk menghibur diri sendiri adalah bermain ponsel. Itupun hanya bertahan sebentar. Ditambah, keadaan rumah sekarang sedang sepi karena Aru pergi ke bengkel, dan Mas Jeffry juga bekerja, aku jadi tidak tahu harus melakukan apa. Akhirnya aku keluar dari kamar, kulihat Mbok Arum sedang memasak sesuatu di dapur. Kuhampiri wanita paruh baya itu. “Mbok lagi masak apa?” tanyaku.

“Ayam kecap Mbak, tadi sebelum berangkat Pak Jeffry minta dibuatin ini. Katanya buat makan siang,” jelas Mbok Arum.

Aku membulatkan mulut. Berarti Mas Jeffry akan berada di rumah saat jam makan siang nanti. Tidak heran sih, sudah tiga hari belakangan ini Mas Jeffry selalu pulang ke rumah di waktu luangnya. “Aku bantu ya Mbok,” kataku.

“Eh jangan non, Bapak nyuruh saya buat mastiin kalau non gak ngerjain apa-apa selama di rumah,” larang Mbok Arum.

“Mbok, bentar lagi aku lahiran, bagusnya banyak gerak. Mas Jeffry mah gak tau apa-apa soal kehamilan.”

Mbok Arum tertawa pelan. “Yaudah non boleh, tapi jangan sampai kecapean ya,” pesannya yang aku balas anggukan. Aku membantu Mbok Arum dengan mengupas-ngupas kulit bawang, memotong cabai, dan mencuci ayam sebelum di olah. Saat aku sedang mencuci ayam, Mbok Arum keluar dari dapur karena ingin mengambil daun jeruk yang berada di halaman belakang. Pada awalnya tidak ada hal aneh yang terjadi selagi aku mencuci ayam, tapi lama kelamaan aku merasa seperti sedang diawasi oleh seseorang. Aku mengintip dari ekor mataku perlahan, tidak ada siapapun di belakang atau di sampingku.

Brak!

Aku terhenyak kaget ketika mendengar suara seperti benda jatuh. “Mbok?” panggilku. Berpikir jika Mbok Arum yang baru saja menjatuhkan sesuatu. Tapi tak ada yang menyahut. Aku mematikan keran yang semula menyala, lalu mengelap tanganku pada handtowel. Aku berniat mencari dari mana sumber suara itu berasal. Kulangkahkan kaki ke ruang tengah karena yakin suara itu berasal dari sana. Namun tidak ada siapapun di ruang tengah. Sepi. Bahkan tidak ada satupun benda yang terjatuh ke lantai. Padahal suara dentuman tadi terdengar jelas. Saat aku memutar tubuhku dan akan kembali ke dapur, aku mendadak terdiam melihat seorang wanita berdiri di ujung tangga dalam posisi membelakangiku. Pakaian wanita itu berwarna putih lusuh, rambut panjangnya yang kusut sampai menyapu lantai, dan yang membuatku syok adalah adanya belatung yang berjatuhan dari punggung si wanita. Saat itu juga aku tersadar, bahwa dia bukanlah manusia. Perasaanku campur aduk melihat hal seperti ini untuk pertama kalinya. Aku ingin berlari, tapi tidak bertenaga, aku ingin berteriak, sialnya lidahku mendadak kelu, aku ingin menangis tapi tidak bisa. Dan yang bisa kulakukan hanyalah berdoa dalam hati agar wanita itu tidak menoleh ke arahku. Tapi sepertinya Tuhan tidak mengabulkan doaku, wanita itu perlahan membalik tubuhnya. Pandangan kami bertemu, dia melemparkan senyuman padaku.

Aku mengumpat dalam hati ketika senyuman wanita itu semakin lama semakin lebar sampai ke telinganya. Rasanya aku ingin pingsan, tubuhku sudah bergetar tidak karuan. “Bira.” Aku mendengar suara Mas Jeffry, tapi tatapanku masih terpaku pada sosok mahluk menyeramkan itu. Ingin rasanya berpaling, tapi tidak bisa. Tubuhku mendadak tidak bisa di gerakkan.

“Bira hei!”

Mahluk itu menghilang begitu Mas Jeffry meneriakkan namaku. Napasku yang semula tertahan, kini mulai normal. Tubuhku juga tidak lagi kaku, aku melihat Mas Jeffry dan mulai menangis histeris.

“Bira kamu kenapa? Ada yang sakit?” tanya Mas Jeffry khawatir.

Aku tak menjawab dan masih menangis.

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang