90. Papa Pekerja Keras

916 173 92
                                    

Wah udah 90 chapter aje. Udah pada bosen belumm???
.
.
.

“Kepalanya agak sedikit di naikin Mbak Bira. Nah oke, satu, dua, ganti.”

Aku mengganti pose lagi untuk kesekian kalinya. Mataku sudah terasa perih, tak terbiasa dengan sorot lampu yang begitu terang seperti di studio ini. Kulirik sekilas Mas Jeffry yang sedang beristirahat di sofa. Tatapan kami bertemu, aku memberikan gelengan kecil padanya. Paham maksudku, Mas Jeffry berdiri, menghampiri fotografer yang sedang memotretku. “Mas Danil, istri saya keliatan capek. Boleh kita gantian dulu?” tanya Mas Jeffry.

“Oh boleh Mas, malah sesinya Mbak Bira udah selesai. Tinggal Mas Jeffrynya, sama yang terakhir foto berdua.”

Mas Jeffry tersenyum. “Makasih ya,” ucapnya. Dia lalu menghampiriku, mengulurkan tangannya untuk membantuku bangun dari kursi. “Capek ya Yang?” tanyanya.

“Iya, belum biasa,” balasku.

“Yaudah istirahat dulu sana. Gantian sekarang giliran aku.”

Aku hanya mengangguk, lalu pergi beristirahat. Kududukkan bokongku di sofa, dan memusatkan perhatianku pada Mas Jeffry yang sedang berpose di depan sana. Semakin hari posenya di depan kamera semakin handal saja. Tidak sepertiku yang kaku dan masih butuh arahan dari tim fotografer agar mendapatkan gambar yang bagus nantinya. Lagipula ini semua gara-gara Ayah mertua yang mendadak memintaku ikut dalam pemotretan bersama Mas Jeffry untuk mempromosikan brand pakaian barunya. Saat Ayah mertua memintaku melakukannya dua hari yang lalu, aku sempat menolak, kukatakan padanya kalau aku tak bisa berpose dan mati gaya. Tapi Ayah bilang aku tidak perlu mengkhawatirkan soal tersebut, karena akan banyak orang yang membantuku. Dan ya, aku tak bisa mengelak lagi, jadilah hari ini aku dan Mas Jeffry bekerja bersama. Al kami titipkan pada Ibu dan Ayahku.

“Gimana Bir jadi model begini? Asik?” Aku menoleh, Ayah mertua ternyata datang. Padahal sejak pagi tadi hanya ada aku, Mas Jeffry, dan tim.

“Eh Ayah, duduk Yah.” Aku bergeser, memberikan Ayah ruang yang lebih luas agar bisa duduk.

Ayah mengambil tempat di sampingku. “Pertanyaan Ayah belum kamu jawab lho,” kata Ayah.

Aku meringis. “Capek Yah,” balasku.

“Capek?” Ayah mengangguk-anggukan kepalanya. “Seenggaknya kamu jadi tau ya gimana kerja kerasnya Jeffry di luar untuk membiayai hidup keluarga kecil kalian.”

Seketika aku memikirkan bagaimana lelahnya menjadi Mas Jeffry. Berangkat pagi pulang larut, bulak balik dalam dan luar kota di satu hari, masih kerja di hari Sabtu dan Minggu, dan ketika memiliki waktu di rumah, Mas Jeffry pasti berada di ruang kerjanya. Tak ada waktu bersantai, hanya ada waktu tidur itupun kurang dari lima jam. Tak heran jika akhir-akhir ini aku jarang disentuh olehnya, Mas Jeffry pasti sudah kelelahan lebih dulu. Belum lagi ada Al yang minta ditemani main bersama Papanya. “Dari dulu Jeffry tipe orang yang pekerja keras. Cuma bedanya, sekarang dia berusaha menyisihkan waktunya yang sedikit buat keluarganya. Kalau dulu dia bener-bener gak perduli sama statusnya yang udah berumah tangga, yang di nomor satukan kerja, kerja, dan kerja,” ujar Ayah. “Omong-omong gimana hubungan kamu dan Jeffry sejauh ini Bir? Sering cekcok?” tanya Ayah.

“Enggak kok Yah.”

“Syukur kalau gitu. Ayah cuma khawatir kalau hubungan kalian bakal berakhir seperti Jeffry dan Bianca dulu.”

Aku tersenyum. “Tenang, hal itu gak akan terjadi. Cuma...” ucapanku menggantung.

Curhat gak ya???

“Cuma?” tanya Ayah penasaran.

Curhat aja deh.

“Jadi gini Yah, waktu aku masih di Milan sama Mas Jeffry, kita sempet bahas soal nambah momongan. Rencananya sih aku mau hamil lagi kalau Al udah tiga atau empat tahunan. Tapi, begitu pulang ke Indonesia Mas Jeffry langsung sibuk ngerjain ini itu. Jadi rencana kita sebelumnya kayak ngambang gitu aja.”

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang