37. Cemburu Ya?

1.4K 240 152
                                    

MALAMMMMM, YANG GA KOMEN JOMBLO! YANG KOMEN PACARNYA MAS NJEP

🔞🔞🔞🔞
.
.
.

“Ra jangan kerja dong.”

“Nanti kamu kecapean. Gak usah kerja ya?”

“Sayang, aku 'kan udah bilang ke Rio kamu gak bakal kerja lagi di kafe.”

“Biraaaaaa...”

“Berisik astaga!” Aku mendelik sinis ke Mas Jeffry yang terus mengikutiku sejak pulang dari makan nasi uduk tadi. Dia mengikuti kemanapun aku pergi, mulai dari kamar, dapur, dan sekarang aku akan keluar rumahpun masih diikuti olehnya. Mas Jeffry melakukan semua itu karena tidak ingin melihatku pergi ke kafe dan bekerja seperti biasanya. Jelas aku menolak semua permintaannya itu, aku harus bekerja untuk membiayai kebutuhan hidupku sehari-hari. “Kamu kenapa gak pergi aja sih? Ini 'kan rumah Aru. Bosen aku liat kamu di sini terus. Mana kerjaannya dikit-dikit ngelarang aku,” sebalku.

Bibir Mas Jeffry mengerucut. Tapi aku sama sekali tidak merasa gemas. Dia sudah terlalu menyebalkan dari pada menggemaskan. “Kamu jangan pergi ke kafe. Jangan kerja lagi,” katanya.

“Kalau gak kerja aku mau makan apa? Aku juga harus hidup.”

“Ada aku. Aku yang bakal biayain semua kebutuhan kamu dan adek. Kamu gak perlu capek-capek kerja cari uang, itu udah tugas aku.”

“Mas.” Aku melipat tanganku di depan dada, menatap Mas Jeffry dengan malas. “Sekali lagi ya, aku tanya sama kamu. Aku siapa kamu sampai harus di biayain hah? Oke, aku emang lagi hamil, dan anak ini juga darah daging kamu, dia berhak dapet perhatian dari Papanya, dia berhak kamu biayain. Tapi aku? Aku bukan siapa-siapa kamu. Aku harus kerja buat lanjutin hidup aku.”

“Makanya kamu nikah sama aku, supaya aku bisa biayain hidup kamu juga,” ujar Mas Jeffry.

Aku merotasikan bola mata malas.

“Bira,” panggil Mas Jeffry. “Aku mau menikah sama kamu. Aku mencintai kamu dan anak kita. Iya aku salah pernah ninggalin kamu, tapi apa kamu gak mau kasih aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya?”

“Harus aku kasih kesempatan gimana sih Mas? Kamu udah berjuang emang? Ngejelasin aja gak mau,” sahutku. Mas Jeffry terdiam seribu bahasa. Mungkin dia merasa tersindir dengan ucapanku. “Aru.” Aku memanggil Aru saat melihat lelaki itu menuruni anak tangga dan sepertinya sudah siap untuk pergi ke bengkel jika dari pakaiannya.

“Kenapa? Mau bareng?” tanya Aru yang sudah hapal betul dengan kebiasaanku yang setiap pagi menumpang padanya menuju kafe.

Aku mengangguk.

“Hah apaan? Kamu mau ke kafe naik motor Aru?!” tanya Mas Jeffry.

“Naik gerobak,” sahutku asal. “Ayo Ru.”

“Bira enggak!” Mas Jeffry menahan tanganku. “Aku gak bisa liat kamu pergi naik motor dalam posisi hamil besar gini. Bahaya.”

Aku menepis tangan Mas Jeffry. “Merem kalau gitu biar gak usah liat aku.”

“Bira...” panggil Mas Jeffry penuh penekanan.

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang