Kuy komennya jangan lupa!
.
.
.(JEFFRY POV)
Aku tersenyum getir saat berhadapan dengan sebuah makam yang lama tidak kudatangi. Kuletakkan bunga mawar yang kubawa di samping batu nisan yang bertuliskan nama darah dagingku, Arundaya Niscala Baruna. Putra sulungku yang belum sempat aku bahagiakan, namun kematian lebih dulu memisahkan kami. Bahkan aku belum sempat memenuhi keinginan Aru yang ingin menghabiskan waktunya berdua bersamaku. Aku berjongkok, kuusap batu nisan Aru penuh kelembutan sambil membayangkan jika aku sedang membelai kepalanya. “Bang, Papa, Mamoy, Al, dan Gladis dateng,” ucapku. “Maaf ya Papa jarang dateng ke sini. Tapi setelah ini, Papa bisa pastiin kalau Papa bakal sering dateng.” Hatiku bergetar setiap kali mengingat Aru. Setiap detik, menit, yang kulalui terasa berat karena aku merindukannya. Mungkin orang-orang berpikir jika aku telah membaik, telah menerima kepergian Aru karena aku tak pernah lagi menunjukkan seberapa sedih dan sakitnya diriku pasca ditinggal Aru. Padahal sampai detik ini, aku belum benar-benar rela melepasnya.
“Papa nangis?” tanya Al. Reflek aku menyentuh pipiku, tak sadar jika air mataku turun sampai membuat pipiku basah.
Aku tersenyum. Kutarik pelan Al berpindah ke depanku. “Al, kamu tau gak kita lagi di mana?” tanyaku.
Al tak langsung menjawab, dia melihat Bira sebentar, lalu melihatku lagi. “Abang,” katanya. “Kata Mamoy ini tempat bobo Abang ya Pa?”
Aku mengangguk. “Abang ada di dalem sana.”
“Napa di dalem Pa?” tanya Al lagi. Anak sesusianya memang sedang suka-sukanya bertanya dan ingin tahu segalanya.
“Kalau di luar kehujanan,” kataku. “Di dalem itu anget, kayak Al bobo dipeluk Papa. Tapi bedanya, Abang gak bisa dipeluk Papa lagi, Abang udah bobo nyenyak di sana.”
“Kalau Abang mau mamam gimana Pa? Kacian Abang lapel.”
Aku tersenyum. Al benar-benar menggemaskan. Dia bahkan mengkhawatirkan soal itu. “Abang gak bakal laper, soalnya Mamoy sama Papa selalu doain Abang,” ujar Bira. Dia ikut berjongkok. “Makanya, Al juga harus doain Abang yang rajin. Supaya Abang gak laper, gak haus, dan nanti kita bisa kumpul lagi sama-sama.”
“Kita ketemu Abang Moy?” tanya Al.
Aku mengangguk. “Iya, nanti Tante Gladis juga ikut.”
Al melihat Gladis yang sejak tadi berdiri di belakang kami. “Iya Ante?” tanya Al.
Gladis mengangguk, bersamaan dengan itu air matanya menetes. Aku tahu dan bisa merasakan jika Gladis sama sepertiku, belum merelakan kepergian Aru sepenuhnya. Aku memberikan isyarat pada Bira berupa lirikan mata agar dia menenangkan Gladis. Istriku lantas berdiri dan merangkul sahabatnya. “Bir, gue gak bisa lama-lama di sini, bawaannya mau nangis terus,” kata Gladis.
“Yaudah kita duduk di saung sana ya sambil nunggu Jeffry,” saran Bira. Dia membawa Gladis pergi ke saung yang dekat dengan pintu gerbang makam. Sementara aku dan Al masih di samping makam Aru. Aku belum mau beranjak, aku masih merindukan Aru dan ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi bersamanya.
“Ru, Papa ke sini bawa rokok sebenernya. Cuma gak mungkin Papa bakar, soalnya ada mata-mata kecil yang bakal laporin Papa ke Mamoy,” ceritaku seraya mendudukkan bokongku begitu saja, tak perduli jika celana yang kukenakan kotor.
“Pa Al duduk cini boleh?” tanya Al menunjuk pahaku.
Aku terkekeh. “Denger gak Ru Al nanya apa? Sama banget nih kayak kamu, gak suka kotor-kotoran waktu kecil.” Aku menepuk-nepuk pahaku. “Sini duduk.” Al kemudian duduk di pangkuanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
DUA BARUNA [END✔]
Fanfiction[17+][bukan BL]Kabira, dikenalkan pada Aru oleh orang tuanya dengan maksud akan dijodohkan. Namun gadis yang akrab disapa Bira itu jatuh hati pada Papa dari Aru, dia adalah Jeffry. "Jangan pindah hati ke Baruna lain, kamu cuma milik aku."