14. Jeffry Pov

1.4K 240 82
                                    


SIANGGG!!!
JANGAN LUPA KOMENNYA!!!!!
.
.
.


Kedua sudut bibirku terangkat begitu membuka mata dan melihat wajah Bira yang tenang dalam tidurnya. Ada perasaan sedikit tidak tega melihat Bira yang hari ini tampak lebih pucat dari biasanya. Beruntung dia hanya mengalami asam lambung yang tidak terlalu parah. Tapi sedikit disayangkan juga karena dugaanku terhadap Bira salah. Kukira gejala-gejala yang Bira alami sebelumnya adalah tanda-tanda kehamilan seperti yang pernah Bianca alami dua puluh tahun lalu ketika mengandung Aru. Ternyata tidak, mungkin belum waktunya aku melihat Bira kecil yang berasal dari rahim Bira dewasa. “Bocil, bangun yuk.” Aku mengusap-usap pipi Bira dengan ibu jari. Tidurnya tidak terusik sama sekali.

“Sayang,” panggilku lagi. Kali ini aku mengecup bibirnya berulang kali. Bira mulai terbangun, dia melenguh dan membuka matanya sedikit. “Bangun, udah malem,” kataku.

Bira tampak kaget. “Jam berapa Mas?”

Aku melihat jam tanganku. “Jam tujuh.”

“Mampus, aku janji sama Ayah gak bakal pulang lewat dari jam lima.” Bira mendorong tubuhku pelan agar dirinya bisa bangun dari baringan. Dia tampak bergegas merapihkan ponsel dan tasnya. “Mas aku pulang dulu ya. Bajunya pinjem dulu. Kapan-kapan aku pulangin!” katanya seraya pergi keluar ruanganku dengan terburu-buru. Bira bahkan menjinjing high heelsnya di tangan karena tidak sempat memakainya.

Aku menggeleng melihat tingkah Bira. Bisa-bisanya aku dibuat jatuh cinta dengan gadis berumur dua puluh tahun yang pelupa seperti dirinya. Karena Bira sudah pulang dan hari juga mulai malam, aku memutuskan untuk kembali ke rumah tak lama setelahnya. Baru saja aku akan memasukkan mobil ke garasi, kulihat mobil Bianca sudah terparkir di sana. Aku rasa Bianca datang untuk menemui Aru. Aku masuk ke dalam rumah setelah memarkirkan mobil. Tidak ada siapapun di ruang keluarga. Biasanya Bianca berada di sana mengobrol dengan Aru jika berkunjung kemari. Kulangkahkan kaki ke lantai dua, menuju kamar Aru. “Bi?” panggilku melihat Bianca yang sedang terduduk di tepi ranjang Aru dengan wajah tertunduk. “Aru ke mana?”

“Kamar mandi,” sahut Bianca. “Kamu dari mana? Dari sore aku udah chat dan telepon kamu, tapi gak ada satupun balasan.”

“Oh ya?” Aku melihat ponselku sendiri. Ternyata benar. Ada beberapa panggilan dan pesan masuk ke ponselku yang tidak terangkat. “Aku ada wawancara tadi. Terus pulangnya ke resto. Kenapa emang?”

Bianca menghela napasnya. “Aku tadi ke sini, niatnya cuma mau kasih sepatu yang aku beli buat Aru. Sampai sini aku malah liat dia yang hampir pingsan di tangga. Mana kamu sama Mbok Arum gak di rumah,” katanya. “Kalau Aru sakit, jangan ditinggal dong Mas. Urusan kerjaan 'kan bisa nanti. Aku sampai gak bisa keluar sama Maga karena harus jagain Aru tau gak?”

“Sakit apa?” tanyaku. Sebelum kutinggal pergi tadi, Aru terlihat baik-baik saja. Tidak ada yang aneh.

“Gak tau. Anak kamu itu gak mau dibawa ke rumah sakit. Capek tau gak aku ngurusnya? Mana aku gagal pergi sama Maga lagi,” keluhnya.

“Bi, Aru anak kamu juga. Ngurus dia sebentar aja kamu capek?” tanyaku tidak habis pikir. “Dan Maga, masa dia gak bisa ngerti kalau kamu lagi ngurus Aru?”

“Gak usah bawa-bawa Maga.”

“Kamu duluan yang bawa Maga,” sahutku.

Bianca berdecak. “Harusnya hari itu aku gak usah dengerin kamu. Biarin aku ngegugurin Aru supaya kita gak repot kayak gini.”

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang