43. Arundaya Pov

1.3K 250 122
                                    

Itu yang gak voment, mending gausa baca deh. Gak menghargai penulis soalnya
.
.
.

Aku menghela napas dalam melihat botol-botol obat yang berjejer di atas nakasku. Satu persatu botol itu kubuka dan kuambil isinya untuk di minum. Entah sudah berapa banyak obat yang masuk ke dalam tubuhku, aku tidak berhenti mengkonsumsi obat-obat itu sejak satu tahun belakangan ini karena penyakit kanker nasofaring yang kuderita. Sehari saja aku tidak minum obat, aku akan merasakan sakit di tubuhku, terutama bagian tenggorokan hingga ke kepala, bahkan aku bisa sampai pingsan karena rasa sakit itu. Tapi tidak banyak orang di sekitarku yang mengetahui bahwa aku mengidap penyakit ini karena aku tidak pernah memberitahu mereka, termasuk orang tuaku. Aku tidak ingin membuat orang-orang di sekelilingku khawatir dan memandangku lemah. Namun sialnya, meski aku sudah berusaha menyembunyikan penyakitku dari orang-orang, Papa dan Mama tetap tahu. Mama menemukan surat pernyataan dokter milikku di kamar. Harusnya hari di mana aku pergi dari rumah, aku turut membawa surat itu agar tidak seorangpun menemukannya dan timbul masalah baru seperti sekarang.

Aku keluar dari kamar setelah meminum obat, tak sengaja melihat Bira yang sepertinya akan pergi keluar karena pakaiannya terlihat rapih. “Bira,” panggilku seraya menghampirinya. Bira hanya diam, memandangiku dengan tatapan yang tidak seperti biasanya. Aku tahu bahwa Papa sudah memberitahukan semuanya mengenaiku pada Bira semalam. Tidak heran jika pagi ini Bira bersikap begitu kepadaku.

“Ru.” Bira bersuara. “Bisa kita ngobrol berdua?” tanyanya.

Aku mengangguk. “Mau ngobrol di mana?”

“Di halaman belakang aja.”

Akhirnya aku dan Bira pergi ke halaman belakang, duduk di kursi santai yang langsung menghadap ke kolam renang. “Lo udah ngambil keputusan untuk hubungan lo dan Papa ke depannya?” tanyaku lebih dulu.

Bira menggeleng. “Gue gak mau bahas soal itu dulu. Gue cuma mau nanya, kenapa lo gak bilang apa-apa soal penyakit lo ke gue?” tanyanya.

“Gue sakit. Apa gue harus umbar-umbar soal itu?”

“Harusnya lo bilang. Supaya masalah kayak gini gak terjadi. Lo pasti udah tau 'kan alasan bokap lo ninggalin gue tujuh bulan yang lalu?” Bira kembali bertanya. Tapi aku hanya diam tak memberikan jawaban. “Kenapa lo pura-pura gak tau Ru? Kenapa lo gak ngasih tau gue hah?”

“Bir, gue gak tau Papa pergi karena gue. Gue tau baru-baru ini. Tapi emang, pas kandungan lo menginjak bulan ke tiga, anak buah Kakek yang ditugasin buat cari Papa nemuin Papa di Milan. Sayangnya Papa langsung ngusir mereka sebelum Papa denger tentang kehamilan lo. Gue sengaja gak ngasih tau lo soal Papa yang nolak ketemu itu karena gak mau bikin lo sedih.” Aku berhenti sejenak sebelum melanjutkan ucapanku lagi. “Gue sadar, semua masalah yang menimpa lo terjadi karena gue. Gara-gara gue Papa pergi ninggalin lo, gara-gara gue lo di usir dari rumah, gara-gara gue lo di DO dari kampus, terlalu banyak masalah yang lo hadapi karena gue. Maafin gue Bir.”

“Kalau gue gak mau maafin lo?” tanya Bira.

Aku tersenyum tipis. “Gue pantes kok dapet itu, gue pantes lo benci.”

Bira menghela napasnya. “Tapi gue gak bakal bisa benci lo Ru sampai kapanpun.” Aku terpaku mendengarnya. Bira harusnya membenciku, karena aku telah membuatnya masuk ke dalam lubang penderitaan.

“Kenapa?” tanyaku.

“Karena lo selalu ada di sisi gue selama ini. Dan udah banyak banget kebaikan yang lo kasih buat gue. Contohnya lo bersedia nampung gue di rumah ini, padahal gue udah sering nyakitin perasaan lo. Aru.” Bira tiba-tiba menggenggam tangan kananku. “Lo orang baik. Baik banget sampai-sampai gue lupa udah berapa kebaikan yang lo kasih buat gue dan anak gue. Lo gak pernah ngeluh tiap kali gue minta tolong sama lo. Mungkin bener perginya Mas Jeffry ada hubungannya sama lo, tapi tetep aja gue gak bisa benci lo karena itu. Gue justru merasa bersalah dan mau minta maaf sama lo, gara-gara gue lo jadi sering diabaikan sama Mas Jeffry. Bukan cuma itu, gue juga merasa bersalah karena gak perhatian jadi temen sampai-sampai gue gak tau kalau lo sakit. Maafin gue ya Ru.”

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang