JANGAN LUPA KOMENNYA TITIK.
.
.
.Aku pergi ke rumah Mas Jeffry sekitar pukul lima sore, ketika sampai di sana hanya ada Mbok Arum. Asisten rumah tangga Mas Jeffry yang juga sudah mengenalku itu mempersilahkanku masuk. Mbok Arum bertanya padaku ingin dibuatkan minuman apa, dan aku meminta untuk dibuatkan teh hangat saja tanpa gula. Aku merasa sedikit mual, dokter bilang itu wajar saat hamil muda. Ah, hamil, aku masih tidak menyangka jika di rahimku kini sekarang ada nyawa lain yang akan kubawa selama sembilan bulan ke depan. Kuusap perutku yang masih rata. “Kira-kira kamu bakal jadi Bira kecil atau Jeffry kecil ya?” gumamku, menebak-nebak jenis kelamin si jabang bayi. “Kalau kamu jadi Jeffry kecil, kamu bakal ganteng kayak Papa kamu, kalau kamu jadi Bira kecil, kamu bakal cantik kayak Buna hehe.”
“Non, ini tehnya.” Mbok Arum datang, meletakkan secangkir teh hangat di depanku.
Aku tersenyum. “Makasih ya Mbok.”
“Sama-sama non, nanti kalau ada perlu apa-apa panggil Mbok aja. Mbok ada di belakang,” katanya.
“Siap Mbok. Aku minum ya tehnya.”
“Silahkan. Mbok tinggal dulu ya non.” Mbok Arum kembali ke belakang. Sedang aku masih menunggu kedatangan Mas Jeffry. Hampir satu jam aku menunggu kepulangan Mas Jeffry, teh yang semula hangat kini sudah dingin bahkan sudah habis kuminum, di luar sana awanpun sudah berubah gelap. Tapi Mas Jeffry tak kunjung datang. Bosan menunggu lelaki itu, kuputuskan untuk naik ke kamar Mas Jeffry. Dia tak mengunci pintu kamarnya. Aku masuk ke dalam, memperhatikan seisi kamar si duda. Entah sudah berapa kali aku menghabiskan waktu dengan Mas Jeffry di kamar ini, aku sedikit lupa. Aku duduk di tepi ranjang, lalu mengeluarkan kotak kecil berwarna abu-abu dari dalam tasku yang sudah kusiapkan sebelum berangkat kemari dan meletakkannya di nakas.
Semoga Mas Jeffry membukanya.
“Sayang?” Aku menoleh ke sumber suara. Mas Jeffry sudah pulang. Dia kini sedang berdiri di ambang pintu kamar. “Maaf, lama ya nunggu aku?” tanyanya seraya menghampiriku lalu memelukku.
“Lumayan, sampe bosen aku,” kataku. Aku mengurai pelukannya lebih dulu. “Lagi sibuk banget ya?”
Mas Jeffry mengangguk. “Ya gitu. Apalagi resto yang di Milan bentar lagi buka. Aku harus mantau terus walau gak secara langsung. Ditambah aku udah mulai gantiin posisinya Ayah.”
“Kamu kerja terus, gak ada niatan untuk cari Aru? Udah sebulan lebih lho Mas Aru gak pulang. Katanya kamu kangen dia.”
“Aku udah tau Aru di mana. Dia buka bengkel di deket kampus kamu.”
“Oh ya?” Aku pura-pura kaget. Tapi di satu sisi aku merasa bersyukur karena Mas Jeffry sudah mengetahui bagaimana kondisi Aru. “Tau dari mana?” tanyaku.
“Emangnya waktu aku ngusir Aru, aku ngelepasin dia gitu aja? Enggak Ra, aku udah suruh anak buah aku untuk ngikutin Aru. Cuma aku gak mau terlibat langsung dengan urusan Aru, aku mau liat gimana cara dia bertanggung jawab sama dirinya sendiri. Ternyata Aru mampu.”
“Perasaan kamu gimana waktu tau Aru jadi tukang bengkel?”
“Gak gimana-gimana. Aku malah bangga. Aru bisa punya usaha sendiri dengan jerih payah dia.”
“Kamu gak mau bawa Aru pulang Mas?”
“Mau. Tapi gak sekarang. Aku mau liat sejauh mana Aru mampu bertahan sendirian di luar sana.” Aku tersenyum tipis, setidaknya aku tahu jika Mas Jeffry tidak melepaskan Aru begitu saja. Dia masih memantau Aru hingga saat ini. Penilaian Gladis terhadap Mas Jeffry salah, dan aku benar. Mas Jeffry laki-laki yang bertanggung jawab. “Sebentar sayang.” Mas Jeffry merogoh kantung celananya saat dering ponselnya berbunyi.
KAMU SEDANG MEMBACA
DUA BARUNA [END✔]
Fanfiction[17+][bukan BL]Kabira, dikenalkan pada Aru oleh orang tuanya dengan maksud akan dijodohkan. Namun gadis yang akrab disapa Bira itu jatuh hati pada Papa dari Aru, dia adalah Jeffry. "Jangan pindah hati ke Baruna lain, kamu cuma milik aku."