71. Jeffry Pov

1.1K 222 111
                                    

Double update!!!! Kurang keren apa coba asem?😎

Dibilang kalau komennya semangat, asem juga jadi semangat updatenya
.
.
.


“Mas pelan-pelan.”

“Sebentar sayang, ini belum masuk semua. Ah...”

“Jangan berisik, nanti Al bangun.”

“Susah Moy, lubangnya kecil banget.”

Bira berdecak. Dia merebut flashdisk yang sedang kupegang dan mencoba mencoloknya ke dalam lubang konektor di laptop. “Ini bisa! Kamu cuma modal mulut doang, mana sambil desah lagi,” omelnya. Aku terkekeh, kupeluk Bira yang duduk di sampingku dan menciumi wajahnya. Tapi Bira malah mendorongku, katanya dia tidak bisa diganggu karena akan mengerjakan tugas kuliahnya. Benar, tugas kuliah. Bira kembali berkuliah sejak satu bulan yang lalu di salah satu universitas yang berada di Milan. Kami sudah tinggal di sini sejak tiga bulan yang lalu. Minggu-minggu pertama tinggal di Milan tidak mudah bagi aku, Bira, Al, bahkan Resti yang masih kupekerjakan, untuk kami lewati, terutama bagi Bira. Selama satu minggu pertama di Milan, Bira hampir setiap hari menangis. Dia selalu mengajakku untuk kembali ke Indonesia karena istriku tidak betah di rumah baru kami. Di samping itu, Bira juga sempat mengalami baby blues yang semakin memperparah keadaan. Bira tidak mau makan, dia lebih banyak menyendiri di kamar, mengalami kesulitan tidur di malam hari, dan tidak mau ditinggal pergi olehku. Akhirnya selama dua minggu aku tidak keluar rumah untuk bekerja dan hanya merawat Bira. Beruntung keadaannya semakin hari semakin membaik karena aku tak pernah lupa memberikannya semangat, dan bulan lalu Bira juga sudah mulai berkuliah.

“Besok aku gak ke restoran,” kataku. Restoran yang kumaksud adalah restoran yang aku dan Lano dirikan bersama. Saat tinggal di Indonesia, aku tidak bisa memantau langsung bagaimana keadaan restoran di sini dan lebih sering menghubungi Lano, tapi sekarang aku bisa turun tangan langsung untuk mengurusnya.

Bira mengalihkan pandangannya dari laptop ke diriku. “Kenapa?” tanyanya.

“Mau ngajak kamu sama Al jalan. Kamu libur 'kan besok?”

“Libur. Tapi malam ini aku mau ngerjain tugas dulu Mas.”

“Iya gak apa-apa, aku buatin coklat gimana? Biar kamu semangat belajarnya,” saranku.

Bira mengangguk. “Boleh, tapi jangan kamu masukin obat yang aneh-aneh,” peringat Bira. Aku menunjukkan deretan gigiku. Bira sepertinya trauma karena minggu lalu saat dia pulang dari kampus, aku membuatkannya teh. Tapi bukan teh biasa, aku memasukkan obat perangsang ke dalam minumannya. Membuat Bira mengeluh kepanasan dan berakhir seperti yang kuharapkan.

“Siap juragan.” Aku beringsut turun dari ranjang dan pergi ke dapur, membuatkan Bira coklat hangat dan kopi untukku sendiri. Setelah selesai, kubawa dua minuman itu ke dalam kamar. Sekarang Bira tak lagi memegang laptopnya, dia sedang menyusui Ragnala yang sepertinya terbangun. Dibanding dulu, aku rasa Bira lebih rajin sekarang. Walau dia berkuliah, tapi Bira tidak pernah lupa akan statusnya yang juga seorang ibu. Dia mengutamakan Al di atas kepentingannya yang lain, termasuk aku sendiri. Jika ditanya Bira lebih memilih siapa aku atau Al, dia tidak akan ragu menjawab Al.

Huft, tahtaku direbut si bayi tujuh bulan.

“Bangun ya?” tanyaku tanpa bersuara seraya meletakkan nampan di atas nakas. Bira mengangguk. Tak lama, Al kembali terlelap. Bira lalu menaruhnya di box bayi. “Ini sayang minum dulu.” Kuberikan coklat yang sudah kubuat saat Bira sudah duduk lagi di ranjang.

“Tadi kamu buka kulkas masih ada sayuran gak Mas? Besok aku mau bikin MPASI sendiri buat Al.”

“Gak ada, kita belum belanja bulanan. Besok aja kita belanja, sekalian jalan.”

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang