2. Aneh Gak Ya?

2.1K 338 144
                                    

Selamat Malam!!!
.
.
.


“Udah pulang? Kok Papa gak denger suara motor kamu?” tanya Om Jeffry pada Aru.

“Udah,” sahut Aru. Laki-laki itu melihatku. “Kok ada lo di sini?” tanyanya padaku.

“Papa yang ajak, tadi gak sengaja ketemu di supermarket. Kenapa? Cemburu calonnya dibawa Papa?” Om Jeffry menyahut sebelum aku sempat menjawab sendiri pertanyaan Aru.

Aku melotot. Sebal, Om Jeffry tidak peka terhadapku.

“Gak. Ngapain cemburu? Pacar aja bukan,” balas Aru.

Yeu! Emang siapa yang mau jadi pacar lo? Gue maunya jadi istri bapak lo!

“Yaudah Pa, aku mau ke kamar dulu.” Aru berbalik, melangkah pergi meninggalkan dapur. Namun tiba-tiba dia memundurkan langkahnya kembali ke hadapanku. “Gak usah tanya-tanya soal status Papa gue lagi.”

Om Jeffry menepuk-nepuk pundak Aru. “Udah sana ke kamar. Nanti balik lagi, makan bareng sama Bira di sini.”

“Gak, Papa aja sama Bira. Aku udah makan tadi.” Aru pergi setelahnya. Aru yang aku lihat hari ini, dengan Aru di pertemuan keluarga hari itu sangat berbeda. Aru di depan orang tuaku terlihat ramah dan sering melemparkan senyuman. Tapi Aru sekarang, sedikit dingin dan menyebalkan. Dia tak sesopan yang kukira.

Dasar bermuka dua.

“Bira, ayo di makan.” Om Jeffry menyajikan hasil masakannya di depanku. Aku meringis, Om Jeffry ternyata memasak seafood. Mulai dari udang sampai kerang ada di meja makan. Padahal aku memiliki alergi terhadap makanan laut. Apabila memakannya, tubuhku langsung timbul bintik-bintik merah yang gatalnya luar biasa, dan aku akan mengalami flu hingga berhari-hari. “Bira?” panggil Om Jeffry. Mungkin heran karena aku hanya melihat masakannya saja tanpa menyentuhnya.

“Om, saya gak bisa makan seafood,” kataku.

“Oh ya?” Om Jeffry menggaruk tengkuknya. “Maaf Bira, saya gak tahu.”

Aku menggeleng cepat. “Ini bukan salah Om, ini salah saya karena lupa bilang tadi. Maaf ya Om,” sesalku. “Jadi gak ke makan gini deh.”

“Gak apa-apa, kan masih ada Aru sama Pak satpam. Kalau gitu tunggu sebentar ya, biar saya masak lagi.”

Aku menahan tangan Om Jeffry yang akan pergi. “Om, saya takut ngerepotin.” Bibirku mengerucut.

Om Jeffry tersenyum. “Enggak kok, tenang aja. Saya ada ayam fillet. Kamu mau di masak apa?”

“Lada hitam?”

Om Jeffry mengangguk. “Oke. Ditunggu ya nyonya.”

“Tapi saya mau bantu Om. Boleh ya?” Aku merasa tidak enak membiarkan Om Jeffry memasak sendiri setelah kesalahan yang kulakukan tadi. Untungnya Om Jeffry mengangguk, memperbolehkanku membantunya memasak. Sebetulnya aku tidak terlalu pandai memasak, tapi tidak buruk juga. Tapi setidaknya aku bisa meringankan pekerjaan Om Jeffry. “Om biasa masak sendiri gini? Gak pakai pembantu?” tanyaku dengan tangan yang sibuk mengaduk-ngaduk bumbu di wajan agar merata. Sedang Om Jeffry memotong-motong paprika.

“Mau saya jujur atau bohong?” tanya Om Jeffry sambil tersenyum usil.

“Jujur dong. Kalau bohong nanti cepet keriputan lho.”

Om Jeffry terkekeh. “Jujur ya, saya jarang banget masak. Lebih sering order atau suruh art. Cuma hari ini bibi yang biasa masak dan beresin rumah lagi gak masuk karena anaknya sakit. Dan kebetulan juga hari ini saya libur, jadi mau coba masak sendiri.”

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang