64. Dasar Bapak-Bapak

1.1K 213 115
                                    

Soreee, kangen gaak?
.
.
.

Konferensi pers telah dilakukan, beragam respon diberikan orang-orang padaku dan Mas Jeffry. Ada yang merespon dengan baik permintaan maaf kami, dan ada juga yang masih menyudutkan. Tapi tidak apa-apa, pro kontra dalam suatu persoalan itu biasa, sudut pandang orang berbeda-beda, jadi aku juga tidak bisa memaksa semua orang untuk menerima permintaan maaf aku dan Mas Jeffry. Setelah konferensi pers dilakukan pula, aku merasa lebih lega dari sebelumnya. Aku bisa leluasa mengakui Mas Jeffry sebagai suamiku. Meski di sisi lain aku sempat memiliki kekhawatirkan jika besar nanti Al melihat berita mengenai kedua orang tuanya, dan mempertanyakan soal dirinya. Namun Mas Jeffry meyakinkanku, bahwa Al tidak akan pernah kecewa pada kami orang tuanya. Mas Jeffry dan aku akan memberikan segalanya yang terbaik untuk anak-anak kami, termasuk penjelasan yang nantinya akan Al dengar dari aku dan Mas Jeffry sebagai orang tuanya. Masih ada waktu sepuluh atau lima belas tahun lagi sampai Al paham dengan apa yang terjadi, untuk sekarang bayi gembul itu hanya paham menangis, menyusu, dan buang air. Sampai tidak terasa jika sudah empat bulan ini aku mengurusnya.

Hari ini tepat empat bulan Al lahir. Bayi yang dulu lahir hanya dengan berat 2,4 kilogram, sekarang sudah mulai belajar tengkurap. Kuperhatikan Al yang berusaha mengangkat kepalanya di atas ranjang, beberapa kali aku tertawa karena Al selalu gagal melakukannya. Dia hanya bisa memiringkan sebagian tubuhnya, mungkin kesal karena tak kunjung berhasil membalik tubuhnya, Al mulai merengek. “Kamu sih keberatan badan, susah tuh balik badannya.” Aku mengangkat tubuh Al, dia tidak jadi menangis. Tapi matanya sudah berkaca-kaca yang membuatku gemas sendiri. “Aduh maaf ya sayang, Mamoy jadi body shaming gini.”

“Jangan di maafin,” ujar Mas Jeffry yang baru keluar dari kamar mandi setelah bebersih diri dari pulang bekerja. Lelaki yang hanya mengenakan handuk di pinggangnya itu menghampiriku yang sekarang berdiri di dekat jendela. Dibelainya kepala Al oleh Mas Jeffry. “Bilang Mamoy, kalau mau di maafin, susu aku bagi rata sama Papa.”

Kusenggol perut Mas Jeffry dengan siku lenganku. Suamiku tertawa. “Jangan dengerin Papa gesrekmu Al,” kataku.

“Gesrek tapi cinta. Iya gak?” tanyanya.

“Enggak,” sahutku. “Aku cintanya sama diri sendiri.”

Mas Jeffry terkekeh. “Love yourself. Bagus sih, jangan terlalu cinta sama aku, nanti kalau aku pergi kamu jadi tersiksa sendiri.”

Aku menatap Mas Jeffry. “Mas jangan ngomong yang aneh-aneh ya. Perasaan aku gak enak kalau udah bahas perpisahan.”

“Hei Moy, perpisahan itu pasti terjadi sama siapapun. Tinggal tunggu waktunya aja.”

“Iya tau. Tapi gak usah bahas pisah dulu lah, aku sama kamu nikah aja belum lima bulan,” sewotku. Tidak suka jika Mas Jeffry mulai membahas hal tidak enak seperti ini.

“Hehe iya sayangku.” Mas Jeffry mengecup bibirku sekilas. “Jalan yuk malam ini? Udah lama aku gak jalan sama kamu.”

“Al gimana?” tanyaku.

“Ada Resti lho sayang. Masa lupa terus sih?” Resti, dia anak Mbok Arum yang bekerja di sini sejak tiga bulan lalu. Resti bertugas membantuku menjaga Al selagi aku mandi, atau ketika aku ada keperluan mendadak yang membuatku tak bisa menjaga Al.

“Gak lupa sih, cuma aku ngerasa gak tenang aja Mas kalau ninggalin Al lama-lama sama orang lain.” Semenjak aku memiliki anak kecil, aku tidak pernah keluar rumah lebih dari tiga puluh menit. Aku selalu memikirkan Al di manapun dan kapanpun. Mungkin ini yang Ibuku rasakan saat aku jauh darinya.

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang