Gas aja lah ya belom 150 juga mwehehehe
.
.
.Terhitung sudah tujuh bulan ini aku bekerja di Dream kafe. Waktu berlalu begitu cepat. Aku yang semula memiliki banyak penyesalan karena kebodohanku sendiri, kini perlahan sudah bisa menerimanya. Aku sekarang sedang belajar bertanggung jawab, pada diriku sendiri dan calon anakku yang dua bulan lagi akan segera lahir ke dunia menyapaku. Sungguh, selama tujuh bulan ini aku benar-benar belajar apa artinya hidup. Dulu sebelum aku mengandung, aku hidup dalam kemewahan, semua hal yang aku inginkan pasti bisa kudapatkan dengan mudah, terutama soal uang. Tapi kini, untuk mendapatkan sepuluh ribu rupiah saja sudah sangat sulit untukku dan diperlukan kerja keras. Gaji yang kudapatkan sebagai pegawai di kafe tidak terlalu besar, bahkan tidak sampai setengahnya dari uang jajan bulananku yang diberi Ayah dulu. Namun anehnya, dengan uang yang tidak terlalu banyak itu, aku jadi bisa lebih menghargai dan bersyukur. Aku juga selalu menyisihkan sedikit uangku untuk biaya persalinan nanti dan membeli perlengkapan bayi, karena aku sadar tidak akan ada orang lain yang akan membayar biaya persalinan jika bukan aku sendiri. Orang tuaku telah melepaskanku, aku bahkan tidak mengetahui bagaimana kabar Ibu dan Ayah selama tujuh bulan ini.
Aku juga tidak lagi mengharapkan kehadiran Mas Jeffry, kuanggap laki-laki itu sudah benar-benar pergi. Mungkin pada satu dan dua bulan pertama kepergian Mas Jeffry, aku masih berharap dia akan kembali untuk menemuiku dan bertanggung jawab atas perbuatannya, tapi semakin lama aku semakin ditampar oleh kenyataan, jika Mas Jeffry sudah meninggalkanku. Aru yang setiap hari masih berusaha mencari keberadaan papanyapun pernah kuminta untuk berhenti.
“Bira, lo liat ini.” Aku yang sedang menghitung uang pecahan di kasir, dikejutkan dengan kedatangan Aru. Lelaki itu berlari menghampiriku sambil mengacungkan ponselnya. Kutebak dia baru datang dari bengkelnya dan langsung kemari karena pakaiannya dipenuhi oli.
“Sebentar, gue masih kerja,” sahutku.
“Tapi ini penting.” Aru menahan tanganku, membuat pergerakanku tertahan.
Aku menghela napas. Kuletakkan uang yang sebelumnya kupegang ke dalam kotak. “Apa yang penting?” tanyaku.
“Gue dapet pulsa gratis,” sahutnya. Aku merotasikan bola mata malas. Aru benar-benar kurang kerjaan. Kukira dia akan mengabari hal penting. Kucubit lengan Aru dengan keras sampai lelaki itu mengaduh kesakitan. “Aduh Bira sakit!”
“Ya lo lagian gak penting banget! Gue kira ada apaan. Jauh-jauh dari bengkel lo cuma mau ngasih tau gue itu?”
Aru berdecak. “Penting ini tuh.”
“Woi Ru kebetulan lo di sini.” Kamal datang menghampiriku dan Aru. “Mesin kopi ada yang rusak tuh. Bisa lo benerin gak?”
“Dibayar berapa gue?” tanya Aru.
“Dibayar tunai. Gimana para saksi? Sah?” tanya Kamal.
Aku tertawa. “Lo emang gak pernah beres Mal,” kataku.
“Kalau neng Bira mau Aa beres, gimana kalau neng jadi pacar Aa?” tanya Kamal.
“Liat perutnya, bentar lagi anaknya Bira brojol,” seloroh Aru.
“Emang kenapa? Biar gue yang jadi Bapaknya. Iya gak Bir?” kata Kamal.
“Gak Mal makasih. Kalau lo jadi Bapaknya anak gue, gak kebayang tiap hari gue bakal sesek napas gara-gara ngetawain lo,” sahutku. Kamal, Yudis, Danu, Bayu, Dika, dan Mario memang sudah tahu mengenai hidupku, mengenai diriku yang ditinggal oleh Mas Jeffry. Kupikir setelah mereka tahu, mereka akan memandangku sebagai wanita murahan, nyatanya tidak. Mereka justru ikut kesal pada Mas Jeffry karena lari dari tanggung jawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
DUA BARUNA [END✔]
Fanfiction[17+][bukan BL]Kabira, dikenalkan pada Aru oleh orang tuanya dengan maksud akan dijodohkan. Namun gadis yang akrab disapa Bira itu jatuh hati pada Papa dari Aru, dia adalah Jeffry. "Jangan pindah hati ke Baruna lain, kamu cuma milik aku."