100. Bonus 6

1.5K 174 77
                                    

Dari kemarin banyak yang minta momen Aru, Al, yaudah asem kasih nih buat bonus terakhir hehe
.
.
.

Di satu hari saat umur Al empat tahun, dia pernah terkena demam tinggi. Meski ini bukan pertama kalinya untuk sang anak jatuh sakit, Bira tetap mengkhawatirkan kondisi Al. Dia menelepon Jeffry, meminta suaminya yang sedang bekerja untuk segera pulang agar Al bisa dibawa ke rumah sakit. Selagi menunggu Jeffry, Bira memangku Al di kamarnya. Dia mengusap punggul Al yang bergetar sebab putranya menangis. Al menjadi anak yang rewel setiap kali sakit. “Mamoy, Al mau Papa...” isak Al.

“Iya, Papa lagi di jalan. Al sabar ya.” Bira mengecup puncak kepala Al, dan semakin erat memeluk putranya. “Kepala Al pusing gak?”

Al mengangguk lesu. “Pusing, Al mau Papa...”

“Iya nak iya, sebentar lagi Papa pulang.” Baru Bira selesai berbicara, Al tiba-tiba memuntahkan isi perutnya. Muntahannya mengotori pakaiannya dan pakaian Bira. Melihatnya, Bira semakin cemas, ditambah tangisan Al semakin keras. Lantas Bira menaruh Al di ranjang, melepaskan pakaian putranya untuk diganti ke pakaian yang bersih. “Duh, baju kamu yang panjang masih di keranjang gosokan lagi,” keluh Bira ketika tak menemukan pakaian berlengan panjang milik Al di lemari.

“Al tunggu sebentar ya, Mamoy mau ambil baju Al dulu.” Bira berlari keluar, meninggalkan Al sendiri yang masih menangis di kamar.

“Huaaa Papa.”

“Mau Papa...”

“Al.” Suara berat memanggil. Al menoleh, dia melihat sosok itu lagi untuk kesekian kalinya. Sosok yang mirip dengan mendiang Aru dan sering mengikutinya ke mana-mana akhir-akhir ini. Aru duduk di samping Al, dia menyunggingkan senyum yang membuat tangis Al mereda. “Al sakit ya?” tanya Aru.

Al mengangguk. “Kepala Al pusing, Abang.” Al mengenal sosok tersebut sebagai Aru, Al tak tahu jika yang dilihatnya adalah sosok yang berbeda dunia dengannya.

“Kasiannya Adek Abang.” Aru menyeka air mata Al menggunakan ibu jarinya. “Al jangan nangis lagi, nanti kepalanya makin pusing. Kasian juga Mamoy, panik gara-gara Al nangisnya makin kenceng.”

“Tapi 'kan Al sakit, jadi Al nangis,” balas Al.

Aru terkekeh. “Emang kalau orang sakit harus nangis?” Al hanya diam, tak menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Aru kemudian membawa Al ke pangkuannya. “Gak apa-apa kalau Al nangis, tapi jangan lama-lama. Lima detik aja. Al udah bisa berhitung 'kan? Abang pernah liat Al main petak umpet sama Papa, Al jaga dan menghitung waktu itu.”

Al mengangguk. “Al udah bisa hitung satu sampai lima belas.”

“Coba, Abang mau denger.”

“Satu, dua...” Al berhitung, memamerkan hal yang dia bisa pada Aru. Awalnya dia cepat dalam menyebutkan angka secara berurutan, begitu sampai di angka sebelas dan akan melanjutkan ke angka dua belas, Al mendadak diam.

“Kenapa diem? Ayo lanjutin lagi,” pinta Aru.

Al memanyunkan bibirnya. “Lupa. Habis dua belas itu empat belas ya Bang?”

Aru menggeleng. “Habis dua belas itu tiga bel...”

“As!” sahut Al mantap.

Aru tersenyum. “Pinternya. Kalau Al pinter terus kayak gini, Abang jadi makin sayang. Cium pipi Abang dong.” Aru menyentuh pipinya sendiri, detik selanjutnya Al mengecup pipi tersebut.

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang