SOREEEE!!! JANGAN LUPAN KOMENNYA!!!
.
.
.(ARUNDAYA POV)
Aku duduk di pojok balkon, memandangi langit malam yang gelap tanpa ada satupun bintang yang menghiasinya. Aku menghirup oksigen sebanyak-banyaknya lalu mengeluarkannya. Membosankan. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan di rumah ini. Tidak ada satupun teman yang bisa kuajak berbicara. Sebetulnya bisa saja aku mengundang teman-temanku untuk datang kemari, tapi pasti mereka sedang sibuk di kafe. Apa perlu aku menelepon Gladis? Tapi aku masih merasa tidak enak padanya atas kejadian satu minggu yang lalu. Lantas aku merogoh kantung celanaku, mengeluarkan ponselku dari sana. Karena tidak ada yang bisa kuajak bicara, jadi aku akan berbicara dengan ponselku sendiri. Kunyalakan aplikasi perekam suara, dan menaruh ponsel itu di sampingku. “Aneh sih ngomong sendiri gini, tapi gak apa-apa ya kita coba aja. Eum....” Aku menggaruk kepalaku, bingung mau bicara apa. “Jir kayak orang goblok.”
“Gak apa-apa deh Ru, lo 'kan udah goblok.” Aku menjawab sendiri.
“Jadi hari ini tepat dua minggu Papa, Bira, dan si bayi yang bobonya demen nungging pergi dari rumah. Agak sepi sih semenjak perginya mereka. Eh maksud gue sepi banget, biasanya di jam malam gini Al lagi nangis gara-gara mau susu, dan setiap gue coba hibur bocah itu, nangisnya malah makin kenceng.” Aku tertawa kecil mengingat tingkah Al. Aku paling suka ketika melihat adikku menangis, karena menurutku itu lucu dan menggemaskan. Tapi jika dia sengaja dibuat nangis oleh orang lain, aku tidak bisa menerimanya. “Al sekarang lo lagi apa di sana? Gak cengeng lagi 'kan? Masih suka bobo nungging? Pasti sekarang kamu udah pinter tengkurep ya?”
“Abang kangen sama kamu Al, kangen liat pipi gembul kamu, kangen sama suara ketawa kamu yang nular, dan kangen disalahin sama Papa gara-gara sengaja nangisin kamu.”
“Kata orang-orang kamu mirip sama Abang, jelas mirip sih, kita 'kan satu bahan, beda tempat penyimpanan aja. Lagian beruntung kamu mirip Abang, kalau mirip Papa nanti serem, muka Papa 'kan kayak preman, kalau muka Abang ngademin hati.”
“Tapi jangan sampai nasib kamu mirip kayak Abang ya Al. Abang sakit, kamu harus sehat, Abang bodoh, kamu harus pinter, Abang gak bisa bahagiain orang-orang disekitar Abang, kamu harus bisa.” Aku menghela napas panjang dan menghembuskannya. “Kita belum banyak ngabisin waktu bareng-bareng karena Abang sibuk bulak-balik rumah sakit, tapi Abang janji, kalau kita ketemu lagi dan tinggal bareng lagi, Abang akan sering ngeluangin waktu buat main sama kamu. Kita main bola, robot, mobil-mobilan, apapun yang Al mau, Abang pasti turutin. Abang mau Al bangga punya Kakak kayak Abang. Dan Abang juga janji, Abang bakal kasih kamu gratis servis di bengkel Abang nanti hehe.”
Aku berhenti berbicara saat merasakan sakit di tenggorokanku. Kuremat celana yang kukenakan untuk menyalurkan rasa sakit yang akhir-akhir ini sering datang karena sel-sel kankerku yang semakin menyebar.
“Al...” lirihku. Saat rasa sakitnya mulai berkurang, aku mencoba untuk berbicara kembali. “Abang mau minta maaf sama kamu. Di hari Abang tau kalau kamu hadir di rahim Mamoy, Abang sempet benci sama kamu. Abang marah, kenapa kamu harus hadir di saat ada kesempatan untuk Abang mendekati Bira. Tapi itu dulu, sekarang Abang bener-bener sayang sama kamu.”
“Aru!” Teriakan Mama tiba-tiba terdengar.
“Gue rasa cukup untuk rekamannya malam ini. Sekarang udah jam sepuluh, gue tutup ya.” Aku mematikan rekaman tersebut, kemudian masuk ke dalam kamar. “Kenapa Ma?” tanyaku pada Mama yang sudah berada di dalam kamarku.
Mama menggeleng. “Malam ini Mama mau tidur sama kamu boleh?”
Aku mengangkat sebelah alisku. “Ngapain?”
Mama menghampiriku. Dia merangkulku. “Mama cuma takut kamu ngelakuin hal aneh kayak seminggu yang lalu. Mama gak mau liat kamu gak bernapas di dalam bathup.”
“Aku gak bakal gitu lagi Ma, Mama tidur aja sana di kamar Mama sendiri.”
“Gak mau, Mama mau tidur sama kamu. Mama gak percaya sama ucapan kamu Ru.” Mama memang berubah menjadi protektif padaku sejak satu minggu yang lalu, saat aku nyaris bunuh diri di dalam toilet. Aku tidak tahu, sikap Mama yang satu ini benar-benar tulus dari hatinya atau ada maksud tertentu.
“Yaudah, terserah Mama.”
Entah sudah berapa lama aku tidak tidur dengan ditemani Mama seperti malam ini. Saking lamanya, aku tidak ingat. Bahkan sejak kecil dulu aku jarang dan hampir tidak pernah merasakan hal seperti ini karena Mama yang sibuk dengan urusannya, Mama juga jarang pulang ke rumah, dan aku lebih sering ditemani oleh baby sitter dan nenekku. Tapi semenjak nenek meninggal, aku hanya ditemani oleh baby sitterku. Dan buatku rasanya asing dan aneh tidur ditemani Mama seperti sekarang karena aku jarang merasakannya.
“Kamu gak nyaman ya tidurnya ditemenin Mama gini?” tanya Mama.
Aku menggeleng. Lalu memunggungi Mama. “Ru?” panggil Mama.
“Hm?” sahutku tanpa berbalik.
“Mama tau Mama jarang punya waktu buat kamu, Mama jarang di rumah setiap kali weekend tiba. Tapi Mama inget satu kejadian yang sampai sekarang selalu terkenang di hati Mama.” Diam-diam kunyalakan kembali aplikasi rekaman. Tidak tahu alasannya kenapa aku melakukan hal tersebut, tapi hati kecilku mendorongku untuk melakukannya. “Tau apa?” tanya Mama. Aku menggeleng sebagai jawaban.
“Waktu kamu meluk Mama setelah Mama dan Papa ribut. Mama inget, umur kamu waktu itu baru masuk tahun ketiga. Mungkin kamu gak terlalu inget karena itu udah lama banget, tapi Mama masih inget dengan jelas karena itu pertama kalinya Mama nangis setelah dipeluk anak kecil.” Mama terkekeh. “Kamu peluk Mama kenceng banget, terus bilang gini ke Mama 'Mama jangan nangis, nanti Alu beliin es klim lima' dan yang lucunya kamu nunjukkin empat jari kamu.”
Aku ikut tersenyum. Samar-samar aku bisa mengingatnya walau tidak jelas. “Kalau aja waktu bisa diputar kembali, Mama mau menghabiskan waktu lebih sering sama kamu. Mama menyesal karena jarang punya waktu untuk kamu dan menggampangkan soal kamu ke baby sitter atau Mbok Arum. Mama gak tau Mama layak dimaafkan atau enggak, tapi Mama mau minta maaf yang sebesar-besarnya sama kamu. Kamu sakit kayak gini juga pasti gara-gara Mama yang gagal merawat kamu.” Air mata Mama turun, dia menangis. Segera kuseka air matanya dengan ibu jariku.
“Udah takdirnya aku sakit Ma, gak usah nyalahin diri sendiri,” kataku. “Tadi Mama sempet bilang mau lebih sering ngabisin waktu sama aku 'kan? Sekarang Mama bisa ngelakuin itu, Mama bisa menebus apa yang sebelumnya gak pernah Mama kasih buat aku, karena tinggal kita berdua di rumah ini. Aku gak punya siapa-siapa selain Mama.”
Mama semakin menangis, dia membawaku ke dalam pelukannya. Diam-diam, aku juga ikut menangis. Untuk pertama kalinya, aku benar-benar merasakan arti memiliki seorang ibu. “Aku sekarang paham kenapa Al nangis setiap kali Bira jauh dari dia,” ujarku.
“Kenapa?”
“Karena pelukan ibu itu yang terbaik.”
Setelahnya aku terlelap dipelukan Mama. Hari ini aku mendapatkan satu memori indah, bukan cuma tersimpan di otakku saja, tapi di ponselku juga. Agar suatu hari nanti aku bisa memamerkan pada orang-orang, bahwa aku juga memiliki Mama yang menyayangiku.
Jadi, untuk beberapa chapter kedepan akan berisi flashback dari Aru yang dia rekam.
KAMU SEDANG MEMBACA
DUA BARUNA [END✔]
Fanfiction[17+][bukan BL]Kabira, dikenalkan pada Aru oleh orang tuanya dengan maksud akan dijodohkan. Namun gadis yang akrab disapa Bira itu jatuh hati pada Papa dari Aru, dia adalah Jeffry. "Jangan pindah hati ke Baruna lain, kamu cuma milik aku."