82. Pinky Boy

937 188 88
                                    

Jujur ya, sempet kepikiran buat unpub ini cerita. Apalagi makin hari makin dikit yang komen, cuma asem inget sama kalian yang masih rajin komen, jadi asem mau lanjutin lagi. Makasih ya kalian yang selalu voment, asem sangat menghargai kalian dibanding yang cuma baca tapi gak ngasih apresiasi sama sekali, entah itu vote atau komen.
.
.
.

“Oy!!”

“Oy! Nonoh!”

Aku yang sedang merapihkan kasur, menunduk saat merasakan tarikan di celana pendek yang kukenakan. Al pelakunya, dia menarik-narik pelan celanaku seraya menunjuk ke arah pintu. Aku berjongkok agar lebih dekat dengan Al. “Kenapa sayang?” tanyaku.

Al berlari ke arah pintu dan memukul-mukulnya. “Papa Oy, Papa ual,” katanya berusaha menjelaskan dengan kosa katanya yang masih terbatas. Bukannya paham akan ucapan Al, aku malah tertawa karena gemas. Al sekarang sudah berusia sembilan belas bulan, selain sudah pandai berjalan, Al juga sudah bisa mengungkapkan apa keinginannya secara langsung walau cara bicaranya masih belum jelas. Dia saja memanggilku bukan Mamoy, melainkan Oy. Seperti memanggil teman saja bukan? Tapi jika memanggil Mas Jeffry, Al sudah sangat lancar. Dasar anak Papa gula. Al kembali menghampiriku. Dia meraih tanganku dan menariknya.

“Mau ke mana sih dek?” tanyaku.

“Papa!” sahutnya. Al menunjuk gagang pintu, meminta agar dibukakan.

“Papa belum pulang, Papa masih kerja. Nanti kalau Papa pulang, Papa pasti masuk ke sini.”

Al menggelengkan kepala. “Papa noh Oy.”

Aku menggaruk kepalaku. “Di sana di mana? Suara mobilnya aja gak kedengeran.” Aku membawa tubuh Al ke gendonganku. “Sekarang masih sore, Papa pulangnya malem. Adek tunggu di kamar aja ya, Mamoy mau mandi sebentar. Oke?”

“Papa da?” tanyanya.

Aku mengangguk. “Iya, Papa gak ada. Nanti baru ada. Adek tunggu sini ya, Mamoy mau mandi. Masa adek udah mandi Mamoynya belum? Nanti yang dicium Papa cuma kamu doang lagi gara-gara Mamoy bau.”Al hanya mengerutkan kening selagi aku berbicara. Ekspresi khasnya jika tidak mengerti sesuatu. Aku mandi tanpa menutup pintu kamar mandi dengan alasan sambil memantau Al yang sedang bermain di matrasnya. Aku takut, jika aku lengah sedikit saja, akan terjadi sesuatu yang berbahaya pada Al, mengingat semakin hari bocah itu semakin aktif. Dua hari yang lalu saja kepala Al benjol akibat jatuh saat berlarian. Huft, kupikir menjadi mahasiswi adalah hal yang sulit, ternyata menjadi ibu jauh lebih sulit.

Dulu sebelum Al hadir, aku bisa menghabiskan waktu satu sampai dua jam di kamar mandi. Banyak ritual yang kulakukan sebelum mandi, bukan ritual yang berbau mistis, melainkan aku melamun, bermain air, lalu bernyanyi sepuasku, dan terkadang aku berjoget-joget tak jelas di kamar mandi sebelum akhirnya benar-benar mandi. Tapi sekarang? Tidak perlu ditanya, buang airpun aku terburu-buru. Sebetulnya bisa saja aku mencari pengasuh baru untuk Al, Mas Jeffry juga pernah menawarkannya padaku. Tapi setelah berpikir panjang dan menimbang-nimbang, aku tidak akan menggunakan nanny baru. Aku merasa sanggup mengurus Al sendiri. Lagipula aku mengambil sistem kuliah online, jadi aku tidak terlalu membutuhkan nanny untuk Al.

Bersamaan denganku yang keluar kamar mandi, Mas Jeffry pulang. Melihat Papanya, Al langsung berlari menghampiri Mas Jeffry. “Aduh anak Papa.” Mas Jeffry menangkap tubuh Al, menciumi pipi gembilnya bertubi-tubi sampai membuat Al tertawa kegelian.

“Papa ang,” kata Al dengan girangnya.

“Iya Papa pulang. Al udah mandi belum?” tanya Mas Jeffry.

“Udah, aku juga udah mandi lho Pa,” ujarku menggunakan nada sindiran. Mas Jeffry hanya fokus pada Al. “Gak di kiss juga apa kayak anaknya?” tanyaku.

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang