81. Move On Kuy!

882 175 35
                                    

Gatatu deh asem bingung ngasih judul hehe
.
.
.

Belajar mengikhlaskan sesuatu yang bukan keinginan kita adalah hal yang tidak mudah. Tapi aku pernah membaca salah satu quotes yang tidak sengaja lewat di media sosialku yang bertuliskan, jika tahap menyayangi seseorang yang paling tinggi adalah mengikhlaskannya. Dan sekarang ini aku sedang mencoba hal tersebut. Aku, Mas Jeffry, dan orang-orang yang merasa sedih ditinggal oleh Aru sedang berusaha mengikhlaskan kepergian lelaki itu. Aku dan Mas Jeffry sendiri memulainya dengan kembali ke Milan. Kami berdua merasa kesulitan mengikhlaskan Aru jika tetap berada di rumah mendiang. Tiap bagian rumah itu, selalu mengingatkan kami akan Aru. Jadi, setelah dua minggu berada di Indonesia, kami memutuskan kembali ke Milan. Dan jika hati kami sudah sangat siap, suatu hari nanti kami pasti akan menetap lagi di tanah air tercinta.

Pada awalnya memang berat, tiap malam aku dan Mas Jeffry menangis berdua karena Aru. Tapi seiring berjalannya waktu, kami lebih bisa mengontrol diri. Aku dan Mas Jeffry juga sudah mulai beraktifitas seperti biasanya. Mas Jeffry bekerja, dan aku juga berkuliah. Dengan kesibukan yang kami miliki, itu juga membantu kami membangkitkan diri dari keterpurukan. Selain sibuk bekerja, Mas Jeffry juga sekarang memiliki kesibukan lain. Dia sibuk menjaga Al selagi aku memiliki kelas online karena Resti tidak lagi bekerja dengan kami, dia mengundurkan diri dengan alasan tidak bisa jauh dari keluarganya. Aku paham akan keputusan yang Resti ambil, pindah ke negara lain dan meninggalkan keluarga bukan perihal yang mudah. Sehingga setelah pengunduran Resti, aku lebih memilih mengambil kelas online agar bisa menjaga Al secara langsung, dan hanya datang ke kampus dua minggu sekali.

Aku yang semula fokus mendengarkan penjelasan dosen melalui laptop, kini perhatianku teralihkan pada Mas Jeffry yang sedang mengajak Al bermain di matras. “Al itu bukan makanan, gak boleh di makan.” Mas Jeffry merebut bola yang hampir di masukkan Al ke dalam mulutnya. Merasa diganggu Papanya, Al mulai menangis. Mas Jeffry segera mengangkat tubuh Al. “Jangan nangis dong, Mamoy lagi ada kelas. Kita gak boleh berisik.”

Aku tersenyum melihat pemandangan itu. Lantas aku memanggil Mas Jeffry, lalu menepuk-nepuk bagian ranjang yang masih kosong, mengisyaratkannya agar duduk di sebelahku. “Gak ah, nanti ganggu kamu,” tolak Mas Jeffry.

“Enggak, mau kelar juga ini. Sini,” pintaku lagi. Mas Jeffry akhirnya duduk di sebelahku bersama Al. Dengan rusuhnya Al langsung mendekat ke laptopku, menekan-nekannya sampai membuat akunku keluar dari kelas yang sedang berlangsung. “Adek kok dipencet?”

“Tuh 'kan malah ganggu kamu,” ujar Mas Jeffry. Dia menarik Al, menahan putra kami di dekapannya agar tak bergerak. Al tergolong anak yang aktif, sampai membuatku dan Mas Jeffry kadang kewalahan mengurusnya. Padahal umur Al belum sampai sembilan bulan. “Terus gimana Moy kalau keluar gitu? Boleh masuk lagi?” tanyanya.

Aku menggeleng. “Udah gak apa-apa, yang penting udah absen. Lagian aku bosen dengerin kelas mulu, maunya main sama kamu dan Al hehe.” Aku memeluk Mas Jeffry dan Al sekaligus. Kudengar Mas Jeffry terkekeh.

“Jangan keseringan gini ya, bosen boleh. Tapi kalau sampai keluar kelas, kasian kamu juga. Nanti kalau gak ngerti apa-apa gimana? Katanya mau buktiin sama Ayah kalau kamu bisa jadi lulusan terbaik,” kata Mas Jeffry.

“Iya Papa gula. Duh, makin hari makin perhatian aja sih, jadi sayang.”

Mas Jeffry tersenyum. “Aku gak mau mengulang kesalahan aku di masa lalu yang terlalu acuh dan menggampangkan semua hal. Cukup kepergian Aru yang bikin aku terpukul, jangan sampai ada yang lainnya.” Kuusap bahu Mas Jeffry seraya mengatakan sabar padanya. “Iya aku sabar kok Ra, buktinya aku gak nangis lagi 'kan?”

“Iya, dan di atas sana Aru pasti bangga karena Papanya berhasil mengabulkan keinginan terakhir dia.”

“Semoga...”

🦝

Semenjak Resti tak bekerja lagi, aku jadi semakin sering masuk dapur. Dengan kata lain, aku jadi rajin masak. Seperti sekarang, aku tengah memasak makan malam untukku dan Mas Jeffry. Al? Kalau malam dia cukup minum susu dari sumbernya. “Al udah tidur?” tanyaku ketika mendengar langkah kaki yang masuk ke dapur. Detik selanjutnya, kurasakan lengan kekar melingkar di perutku, sudah jelas pelakunya siapa.

“Udah,” balas Mas Jeffry. “Moy,” panggilnya.

“Hm?” sahutku dengan tangan dan pandangan yang fokus pada wajan.

“Besok aku berangkat pagi, jadi gak bisa bantu kamu jaga Al.”

“Iya gak apa-apa. Cari cuan 'kan kewajiban kamu,” sahutku.

“Kalau aku gak mau cari cuan gimana?” tanya Mas Jeffry.

“Aku cari laki-laki lain,” balasku asal. Mas Jeffry menyentil keningku pelan. Aku terkekeh. “Lagian kamu nanyanya aneh-aneh sih. Udah yuk, sekarang makan.” Kami duduk berhadapan di kursi meja makan, menyantap makan malam dengan tenang. Sebelum Aru pergi, makan malamku tidak pernah sesunyi ini, ada saja topik yang lelaki itu bicarakan, dan tak jarang membuat kami tertawa.

“Ra? Kamu ngelamun?” tanya Mas Jeffry.

“Ah? Enggak, cuma kangen Aru aja.”

Mas Jeffry meletakkan sendok yang semula dipegangnya, dia menatapku. “Dari kemarin kita sibuk nangis terus, sampai aku lupa bilang sesuatu sama kamu.” Aku mengerutkan kening, penasaran apa yang akan dikatakan Mas Jeffry selanjutnya. “Makasih ya udah jagain Aru dan menyayangi dia sampai akhir hayatnya. Aku sempet ngira kalau kamu bakal susah nerima Aru sebagai anak kamu, tapi ternyata kamu bisa mengurus dia dengan sangat baik.”

Aku menyunggingkan senyum. “Sama-sama.”

Seusai makan malam, Mas Jeffry pergi ke ruang kerjanya. Sedang aku bebersih diri dan mengganti pakaian. Beruntungnya Al tidur lebih awal hari ini, jadi aku bisa menghilangkan penat dengan bermain ponsel. Setelah memiliki anak, bermain ponsel adalah salah satu kegiatan yang sulit kulakukan, karena sebagian besar perhatianku tertuju pada Al. Apalagi akhir-akhir ini Al sudah belajar berdiri sendiri, aku semakin extra mengawasinya.

Aku mencari posisi ternyaman di kasur, lalu mulai membuka-buka sosial mediaku sampai tak terasa jika sekarang sudah tengah malam. “Moy, kok belum tidur?” tanya Mas Jeffry begitu masuk ke dalam kamar dan melihatku masih asik bermain ponsel.

“Belum, sebentar lagi.”

“Tidur, besok kamu kerja extra. Jagain Al, kuliah.” Mas Jeffry mengambil tempat di sampingku, dia meraih ponselku dan meletakkannya di nakas tanpa persetujuan dariku.

“Bisa main hp tanpa diganggu Al itu rasanya bahagia banget Mas. Eh sekarang malah diganggu Papanya.” Mas Jeffry terkekeh. “Eh Mas.” Aku bangun dari posisiku, menatap Mas Jeffry yang terbaring di ranjang.

“Kenapa Yang?” tanyanya.

Aku menggeleng. “Gak jadi deh.” Aku kembali berbaring.

“Kenapa hm?” tanya Mas Jeffry lagi, kali ini dengan suara yang lebih lembut.

Aku mengerucutkan bibir. “Baju aku kurang panas ya Mas? Sampe kamu biasa aja gitu,” tanyaku. Tawa Mas Jeffry pecah mendengar pertanyaan yang kuajukan. “Dih aku nanya malah di ketawain. Kalau iya aku beli yang lebih terbuka lagi nih.” Sebenarnya sejak tadi aku memakai pakaian haram berwarna ungu yang menampakkan jelas lekuk tubuhku, malah bukan hanya lekuk, melainkan belahan dadaku juga. Aku sengaja memakainya, berniat mengajak Mas Jeffry melakukannya malam ini. Biasanya Mas Jeffry salah tingkah sendiri melihat penampilanku yang seperti ini, tapi sekarang dia terlihat tak tertarik.

“Yaampun cil, cil.” Mas Jeffry menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kamu tuh makin berani gini siapa yang ngajarin sih?”

“Kamu,” sahutku.

Mas Jeffry merubah posisinya menjadi di atasku, dia mulai melepaskan kancing piama yang dikenakannya satu persatu. Aku tersenyum melihatnya. “Denger ya, kalau aku yang ngajarin, kamu gak bakal pake baju gini, tapi langsung topless.” Detik selanjutnya Mas Jeffry menyerbu leherku, membuatku spontan meremas rambutnya.

“Terus, Jeff...”










MULAIIII YA KALIAN!!!!!

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang